Sabtu, 11 Mei 2013

SAMPEL



PROBABILITY SAMPLING
Adalah metode sampling yang setiap anggota populasinya memiliki peluang spesifik dan bukan nol untuk terpilih sebagai sampel. Peluangnya tersebut dapat sama atau berbeda besarnya dengan anggota populasi lainnya.
Setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama menjadi anggota sampel
Jenis-jenis probability sampling :
1. Simple Random Sampling (Sampling Acak Sederhana)
Suatu sampel dikatakan random (acak) jika setiap anggota populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam simple random sampling, misalnya :
- Metode Undian (peluang), menurut suharsimi arikunto, bila di atas 100 diambil sampel 20%, bila kurang dari 100 maka diambilsemua.
- Metode dengan Tabel Bilangan Random
- Metode membangkitkan bilangan random menggunakan paket program misal : Ms Excel
- representatif, yaitu mengampil sampel dari populasi tanpa menggunakan presentase, karena semakin besar sampel semakin kecil erornya, dan semakin kecil kecil sampelnya, maka semakin besar erornya/tingkat akurat(tawangmangun)
syaratnya;
a.     tersedia daftar kerangka sampling, misalnya 30 anak yang datanya sudah ada, kemudian diambil 10 untuk sample.
b.     Bersifat Homogin (sejenis), seperti sama-sama islam, pelajar, kelas G, semester 4, dll
c.     Populasi tidak tersebar secara geografis, yaitu dalam satu tempat.
Kelebihan : Sederhana dan mudah diaplikasikan pada populasi yang kecil.
Kekurangan : Tidak praktis pada populasi yang besar
2. Proportinate Stratified Random Sampling (Sampling Acak Berstrata/Berlapis)
Biasa digunakan untuk populasi yang heterogen. Untuk mengurangi pengaruh faktor heterogenitas itu dilakukan pembagian anggota-anggota populasi ke dalam subkelompok (strata) berdasarkan ciri tertentu dari populasi untuk keperluan penelitian. Misalnya, stratifikasi pelanggan menurut jenis kelamin (pria dan wanita), penghasilan (tinggi, sedang, rendah), pendidikan (SD, SLTP, SLTA, S1/S2/S3), dll. Dari setiap strata akan diambil sampel dalam proporsi yang sesuai dengan kenyataan. Penarikan sampel dari setiap strata dilakukan berdasarkan Simple Random Sampling.
tingkat
Jumlah
Proporsi/Proportinate
Sample menurut suharsimi
SD
300
30%
60*
SMP
200
20%
40
SMA
400
40%
80
S1
100
10%
20
Jumlah:
1000

200
*60 orang sampel diambil secara acak dari 300 lulusan SD
3. Disproportinate stratified random sampling
Ketika salah satu stratanya ada yang lebih kecil dibanding strata yang lain. Misalnya;
SD
300
0,3
60
SMP
200
0,2
77
SMA
393
0,393
90
S1
100
0,1
20
S2
5
0,05
1 (5)*
S3
2
0,02
0,4 (2)*
*Karenajumlah populasi terlalu kecil dari stratayang lain, maka semua populasi diambil semua

Sabtu, 04 Mei 2013

MANUSIA SEBAGAI PESERTA DIDIK DAN HAMBA TUHAN




A.    Pengertian Peserta Didik
Peserta didik merupakan komponen terpenting dalam pendidikan islam. Dalam perspektif islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing, yaitu memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan kepada anak didik. Tiga istilah tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang membutuhkan sesuatu, tilmidz yang berarti murid, dan tholib al-ilmiyang menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya mengacu pada seorang yang tengah menempuh pendidikan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan islam, hakikat ilmu berasal dari Alloh. Sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada Guru[1].
Menurut Hasan Fahmi, di antara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah;[2]
  1. Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak syah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
  2. Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan. Yaitu  sebagai manusia individual dan sosial serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepadaNya.
  3. Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
  4. Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
  5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
  6. Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat.
Kesemua hal di atas cukup penting untuk disadari oleh setiap peserta didik, sekaligus dijadikan sebagai pegangan dalam menuntut ilmu. Di samping berbagai pendekatan tersebut, peserta didik hendaknya memiliki kesiapan dan kesediaan untuk belajar dengan tekun, baik secara fisik maupun mental. Dengan kesiapan dan kesediaan fisik dan psikis, maka aktivitas kependidikan yang diikuti akan terlaksana secara efektif dan efisien.
B.     Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat) apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat bertanggung jawab sebagai khalifah Allah dengan baik dan benar, maka kedudukan manusia lebih rendah dari binatang.
Karena itu, agar dapat menjalankan fungsi kekhalifahanya dimuka bumi, manusia di karuniai beberapa kekuatan yang dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan.
Manusia diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Hal ini tergambar dalam dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya. Tujuan penciptaan Adam sebagai nenek moyang manusia adalah sebagai khalifah. Dalam kedudukan ini, manusia tidak mungkin mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya, tanpa dibelakangi dengan potensi yang memungkinkan dirinya mengemban tugas tersebut.
Muhammad Bin Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan potensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi manusia.
Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya.
Dalam perspektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai kemampuan atau hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu :
1.      Hidayah wujdaniyah yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi.
2.      Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
3.      Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu berpikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
4.      Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah.
5.      Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.
C.     Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Dalam pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena manusia hasil dari suatu proses pendidikan.[3] Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah makhluk ciptaan Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung secara evolutif, yaitu melalui proses yang bertahap.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia merupakan makhluk yang mampu mendidik, dapat dididik, karena manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat dikembangkan. Itulah antara lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai hakikat manusia, yang dijadikan acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik dalam pendidikan Islam.
Peserta didik dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula sekaligus sebagai subyek pendidikan.[4]
Dalam perspektif falsafah pendidikan Islam, semua makhluk pada dasarnya adalah peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib, Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam, peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.
Dalam arti khusus dalam perspektif falsafah pendidikan Islami peserta didik adalah seluruh al-insan, al-basyar, atau bany adam yang sedang berada dalam proses perkembangan menuju kepada kesempurnaan atau suatu kondisi yang dipandang sempurna (al-Insan al-Kamil). Terma al-Insan, al-basyar, atau bany adam dalam defenisi ini memberi makna bahwa kedirian peserta didik itu tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan universal, yakni sebagai makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakan dari Adam a.s. kemudian, terma perkembangan dalam pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian peserta didik, baik dari fisik (jismiyah) maupun diri psikhis (ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara sempurna, yaitu suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta didik, melalui proses ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al-ruhiyah).
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti oleh Zainuddin et.al dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta didik yang dapat dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan Islam, yaitu;
1.      Mutarabbi, artinya manusia yang selalu memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik – biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi alam semesta.
2.      Muta’allim, artinya peserta didik mempelajari semua al-asma’kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah maupun quraniyah dalam rangka pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah pernah ia ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan terhadap apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik itu sendiri dalam filsafat pendidikan Islam.
3.      Muta’addib, merupakan proses pendisiplinan adab ke dalam jism, dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan hatinya pendisiplinan adab melalui mua’dib (pendidik). Esensinya dalam mutaadib dalam pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata hubungan komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan mahkluk Allah lainnya termasuk dalam semesta ini serta juga kepada sang pencipta dan pemelihara serta pendidik alam semesta.
D.    Manusia Sebagai Hamba Allah dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.
Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa hampa. Bahkan pendidikan itu sendiri dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat
Dalam konteks konsep hamba Allah, manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah SWT. Hal ini di dasarkan pada petunjuk ayat yang artinya “tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah atau ibadah kepadaKu”(Qur’an surat al dzariat:51:56)[5]. Pengertian ibadah dalam ayat ini menurut Langgulung adalah merupakan pengembangan kefitrahan itu setinggi-tingginya, yang oleh aliran kemanusiaan disebut perwujudan diri(self actualization).
Musa As‘ari mengatakan bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan, yang semuanya itu hanya layak diberikan pada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamnya yang senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadikan kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian darin ciptaannya, ia bergantung pada sesamanya, hidup dan mati menjadi bagian yang pasti. Akan tetapi manusia tidak terikat sepenuhnya oleh hukum-hukum alamnya saja. Karena sebagai makhluk yang dilebihkan dari pada ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberikan kemampuan akalnya sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya manusia pun terikat oleh hukum-hukum berfikir dalam upaya engembangkan untuk menentukan pilihan dan bebas untuk menggunakan akalnya. Sedangkan ‘abd adalah seorang yang telah kehilangan wewenang untuk menetukan pilihan dan kehilangan kebebasan untuk berbuat. Esensi seorang kholifah adalah kebebasan dan kreatifitas, sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian kedudukan manusia dialam raya ini disamping sebagai kholifah yang memiliki kekuasaan untuk mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga sekaligus sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktifitasnya itu harus dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk dapat melaksanakan fungsi kekholifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana pendukung lainnya. Ini menunjukka bahwa konsep kekholifahan dan ibadah dalam al qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha pendidikan.[6]
Hasan Langgulung mengatakan bahwa manusia dianggap sebagai kholifah Allah tidak dapat memegang tanggung jawab sebagai kholifah kecuali kalau ia perlengkapi dengan potensi-potensi yang membolehkannya berbuat demikian. Lebih lanjut Langgulung mengatakan bahwa al qur’an menyatakan beberapa ciri yang dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan fungsi kekholifahannya.[7]
Al-Qur’an tidak memandang manusia sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipa dari kumpulan atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian.[8]
1.      orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2.      khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna khalifah yakni unsure intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan hubungan vertical) yaitu penugasan  Allah kepada manusia sebagai mandataris Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat berat. Namun status ini menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah. Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.


[1] H. Abudin Nata, MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2005), hal 131
[2] Dr.H. Samsul Nizar,M.A, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,2002), cet 1, hal 50
[3] Abdurrahman Shaleh, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya., 1990) h 45.
[4] Anas Abdul Malik al-Quz, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka Azzam: Jakarta, (2001), Hal: 21
[5] Al- Aliyy, Al-Qur’an dan terjemahannya. (Bandung : CV Diponegoro, 2005).
[6]Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, hlm.88
[7]Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2005, hlm.89
[8] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung, Mizan, Cet. XXV, 2003), hal. 158

Tentang hebatnya mengaji

Tentang hebatnya mengaji Ilmu Agama laksana air hujan menembus bumi, orang alim yang mengamalkan ilmunya laksana bumi yang subur. Orang yang...