Rabu, 21 September 2016

Evaluasi Pendidikan

Mengacu pada konsep manajemen, proses evaluasi pendidikan dapat dibagi menjadi tiga bagian utama: Perencanaan (Planning), Implementasi (Implementing), dan Evaluasi (Evaluating). Jadi dalam proses ini kita mulai dengan merencanakan evaluasi, mengimplementasikan evaluasi, dan mengevaluasi evaluasi. Kita perlu merencanakan dan melaksanakan evaluasi secara sistematis dengan cara (a) mengidentifikasi kebutuhan, (b) memilih strategi yang tepat dari berbagai alternatif, (c) memonitor perubahan yang muncul, dan (d) mengukur dampak dari perubahan tersebut. Mengevaluasi evaluasi berarti bahwa evaluasi itu hendaknya memang harus dievaluasi (meta-evaluation). Jelas bahwa proses perencanaan evaluasi merupakan bagian yang paling penting dalam proses evaluasi secara keseluruhan.
Tentunya informasi atau data yang di kumpulkan tersebut haruslah data yang sudah sesuai untuk mendukung tujuan dari evaluasi yang telah di rencanakan tersebut. Ada banyak sekali contoh-contoh evaluasi yang terdapat di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak sekali kita melakukan kegiatan evaluasi, oleh sebab itu kegiatan evaluasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita.

Pengertian Evaluasi

Kata evaluasi berasal dari bahasa inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1983:220). Dalam buku Essentials Of Educational Evaluation karangan Edwind Wand dan Gerald W. Brown dikatakan bahwa: Evaluation refer to the act or process to determining the value of something (1975:1). Jadi evaluasi merupakan suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari pada sesuatu. Sedangkan menurut istilah evaluasi adalah kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrument dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.
Anne Anastasi mengartikan evaluasi sebagai “A systematic achieved by pupils” (1978:6). Evaluasi bukan sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan incidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas. Dengan demikian evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dikelola secara sistematik, mulai dari awal perencanaan kegiatan sampai pada akhir kegiatan.
Pengertian evaluasi secara luas adalah suatu proses memperoleh, merencanakan, dan menyediakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan (Mehrens & Lehmann, 1978:5). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap kegiatan evaluasi atau penilaian adalah suatu proses yang sengaja direncanakan untuk medapatkan informasi atau data, dan dengan berdasarkan data tersebut kemudian akan di coba untuk membuat suatu keputusan.
Tentunya informasi atau data yang di kumpulkan tersebut haruslah data yang sudah sesuai untuk mendukung tujuan dari evaluasi yang telah di rencanakan tersebut. Ada banyak sekali contoh-contoh evaluasi yang terdapat di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak sekali kita melakukan kegiatan evaluasi, oleh sebab itu kegiatan evaluasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita.
Dalam perkembangannya istilah evaluasi berkembang menjadi beberapa istilah yang sering kita gunakan dalam istilah evaluasi, yaitu measurement (pengukuran), assesment(penaksiran), dan test. Ketiga istilah tersebut sering dianggap sama dengan evaluasi. Padahal sebenarnya ketiga tersebut mempunyai perbedaan satu sama lain.
Measurement (pengukuran) diartikan sebagai proses untuk menentukan luas atau kuantitas sesuatu dengan pengertian lain pengukuran. Adalah usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu seperti adanya yang dapat dikuantitaskan, hal ini dapat diperoleh dengan jalan test atau cara lain. Hasil suatu pengukuran belum banyak memiliki arti sebelum ditafsirkan dengan jalan membandingkan hasil dan pengukuran dengan standar atau patokan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam penilaian pendidikan patokan itu dapat berupa batas minimal kompetensi materi pelajaran  yang harus dikuasai, atau rata-rata nilai yang diperoleh oleh kelompok.

Test lebih ditekankan pada penggunaan alat pengukuran. Cronbach memberikan batasan tes sebagai berikut: a syistematic procedure for observing a person’s bahavior and discribing it with the aid of a numerical scale or a category syistem.
Assessment tidak sampai taraf evaluasi, melainkan sekedar mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran.

Tujuan dan Fungsi Evaluasi Pendidikan

Tujuan dilakukannya evaluasi menurut Muchtar Buchori ada dua yaitu:
Untuk mengetahui kemajuan belajar peserta didik setelah ia menyadari pendidikan selama jangka waktu tertentu.
Untuk mengetahui tingkat efisien metode-metode pendidikan yang dipergunakan pendidikan selama jangka waktu tertentu tadi.
Thorndike dan Hagen, merinci tujuan evaluasi pendidikan dalam delapan bidang yang tidak jauh berbeda dengan pembagian fungsi menurut stanley, kedelapan bidang tersebut adalah:
Bidang pengajaran
Hasil belajar
Diagnosis dan usaha perbaikan
Fungsi penempatan
Fungsi seleksi
Bimbingan dan penyuluhan
Kurikulum dan
Penilaian kelembagaan

Evaluasi dalam bidang pendidikan dan pengajaran secara keseluruhan mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
Untuk mengetahui taraf kesiapan daripada anak-anak untuk menempuh suatu pendidikan tertentu.
Untuk mengetahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai dalam proses pendidikan yang dilaksanakan.
Untuk mengetahui apakah suatu mata pelajaran yang kita ajarkan dapat kita lanjutkan pada materi baru atau mengulangi materi yang telah diajarkan.
Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi dalam memberikan bimbingan tentang jenis pendidikan pada peserta didik.
Untuk mendapatkan bahan-bahan informasi apakah anak dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau mengulang di kelas semula.
Untuk membangdingkan apakah prestasi yang dicapai olah anak-anak sudah sesuai dengan kapasitasnya atau belum.
Untuk menafsirkan apakah seorang anak telah cukup matang untuk dilepas ke masyarakat atau masih perlu dididik dan dilatih.
Untuk mengadakan seleksi.
Untuk mengetahui efiensi dan efektifitas metode yang telah digunakan dalam pembelajaran.
Untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pengajaran.

Model Evaluasi Program Pendidikan

Para ahli evaluasi telah mengembangkan beberapa jenis evaluasi program. Jenis evaluasi progam tersebut sangat beragam dan vareatif, tetapi hasil dari evalusai digunakan sebagai kepentingan pengambilan keputusan. Berikut ini diuraikan berbagai jenis evaluasi program yang saat ini masih digunakan.
CIPP (context input prosess product), CIPP merupakan salah satu evaluasi program yang dapat dikatakan cukup memadai. Model ini telah dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebearn dkk. (1967) di Ohio State University.
Evaluasi konteks, meliputi analisis masalah yang berhubungan dengan lingkungan program yang dilaksanakan, yang secara khusus berpengaruh pada  konteks masalah yang menjadi komponen dalam program. Secara singkat evaluasi konteks merupakan evaluasi terhadap kebutuhan yaitu memperkecil kesenjangan antara kondisi actual dan kondisi  yang diharapkan.
Model kesenjangan (discrepancy). Evaluasi ini dikenal sebagai kesenjangan program. Kesenjangan program adalah keadaaan antara yang diharapkan dalam rencana dan yang dihasilkan dalam pelaksanaan program.
Langkah-langkah dalam evaluasi kesenjangan antara lain:
Tahap penyusunan desain
Tahap penetapan kelengkapan program yaitu melihat apakah kelengkapan yang tersedia sudah sesuai dengan yang diperlukan atau belum.
Tahap proses (process)
Tahap pengukuran tujuan (product)
Tahap pembandingan (programe compartison)

Evaluasi Masukan
Evaluasi masukan mempertimbangkan kemampuan awal atau kondisi awal yang dimiliki oleh institusi untuk melaksanakan sebuah program.

Evaluasi Proses
Evaluasi proses diarahkan pada sejauh mana program dilakukan dan sudah terlaksana sesuai dengan rencana.

Evaluasi Hasil
Ini merupakan tahap akhir evaluasi dan akan diketahui ketercapaian tujuan, kesesuaian proses dengan pencapaian tujuan, dan ketepatan tindakan yang diberikan, dan dampak dari program. Setiap bentuk evaluasi yang dijelaskan menekankan tiga tugas pokok yaitu:
Memberikan semua jenis informasi yang di perlukan oleh pengambilan keputusan
Memperoleh informasi
Menyintesiskan informasi-informasi sedemikian rupa sehingga secara maksimal dapat dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan

Desain evaluasi
Sebelum melakukan desain evaluasi, terlebih dalahulu dilakukan focus evaluasi yaitu mengkhususkan apa dan bagaimana evaluasi akan dilakukan. Apabila evaluasi sudah terfokus, ini berarti proses dan desain dimualai. Ada tiga elemen dalam proses pemfokusan , yaitu: mempertemukan pengetahuan dan harapan, mengumpulkan informasi, dan merumuskan  rencana evaluasi.
Komponen-komponen desain evaluasi program:
Tujuan yang ditetapkan oleh pengambilan keputusan dan diberi tahukan kepada pelaksana program
Kegiatan semua aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, kegiatan harus relevan dengan tujuan.
Sarana fasilitas penunjang kegiatan
Pelaksana kegiatan
Hasil keluaran sebagai akibat dari kegiatan 

Langkah Penyusunan Desain
Hal-hal yang perlu dilaksanakan dalam penyusunan desain, antara lain:
Latar belaakang
Problematika (yang akan dicari jawabanya)
Tujuan evaluasi
Populasi dan sempel
Instrument dan sumber data
Teknik analisis data
Langkah langkah yang ditempuh dalam penyusunan instrument evaluasi :
Merumuskan tujuan yang akan dicapai
Membuat kisi-kisi
Membuat butir-butir instrument
Menyunting instrument
Instrumen yang telah tersusun perlu di validasi
Dapat dilakukan dengan metode Sampling
Beberapa hal yang perlu disamakan : tujuan program, tujuan evaluasi, kriteria keberhasilan program, wilayah generalisasi, teknik sampling, jadwal kegiatan

Tahap Monitoring (Pelaksanaan)
Monitoring pelaksanaan evaluasi berfungsi untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan dengan rencana program. Sasaran monitoring adalah seberapa pelaksaan program dapat diharapkan/ telah sesuai dengan rencana program, apakah berdampak positif atau negatif.
Teknik dan alat monitoring dapat berupa :
Teknik pengamatan partisipatif
Teknik wawancara
Teknik pemanfaatan dan analisis data dokumentasi
Evaluator atau praktisi atau pelaksana program
Perumusan tujuan pemantauan
Penetapan sasaran pemantauan
Penjabaran data yang dibutuhkan
Penyiapan metode atau alat pemantauan sesuai dengan sifat dan sumber atau jenis data
Perencanaan analisis data pemantauan dan pemaknaannya dengan berorientasi pada tujuan monitoring

CRITICAL THINKING
Pada dasarnya tujuan evaluasi perencanaan pendidikan adalah suatu proses memperoleh, merencanakan, dan menyediakan informasi yang sangat dibutuhkan untuk membuat alternatif-alternatif keputusan. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap kegiatan evaluasi atau penilaian adalah suatu proses yang sengaja direncanakan untuk medapatkan informasi atau data, dan dengan berdasarkan data tersebut kemudian akan di coba untuk membuat suatu keputusan.
Tentunya informasi atau data yang di kumpulkan tersebut haruslah data yang sudah sesuai untuk mendukung tujuan dari evaluasi yang telah di rencanakan tersebut. Ada banyak sekali contoh-contoh evaluasi yang terdapat di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan tanpa kita sadari dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak sekali kita melakukan kegiatan evaluasi, oleh sebab itu kegiatan evaluasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita.









DAFTAR PUSTAKA

Udin Syaefudin Sa’ud, M.Ed.,Ph.D. (2006), perencanaan pendidikan. PT.Remaja Rosda Karya. Cet, ke-2, bandung.
Masrukin, S.Ag., M.Pd, Evaluasi Pendidikan, STAIN, Kudus, 2008,
Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta :PT Raja Grafindo Persada
Sa’ud, U.S. Dan Makmun, A.S, Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Remaja Rosdakarya, Bandung 2005
http://seputarpendidikan003.blogspot.com/2013/06/pengertian-evaluasi- pendidikan.html, diunduh pada tanggal 12 Mei 2014, pukul 09.00 WIB

Selasa, 20 September 2016

DASAR-DASAR ILMU PENDIDIKAN


Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan hidupnya.
Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis, dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Dalam dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik. Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulah segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nilai dan norma dibawah 100%.
Pedagogik sebagai ilmu murni Menelaah Fenomena Pendidikan
Jelaslah  bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan, melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogik (pendidikan anak) dan data andragogik (pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta dan nilai serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak berasal dari ilmulain, tetapi dari objek yang dihadapi(fenomena) yang ditelaah ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula, data nilai (yang normatif) tidak berasal dari filsafat tertentu,, tetapi dari pengalaman atas manusia yang hakiki. Itu sebabnya, pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafat. Akan tetapi, tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya, ilmu pendidikan, khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah pada keraguan prinsipil. Pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normatif yang bersumber dari filsafat tertentu. Adapun yang lebih diperlukan adalah penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup:
Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
Pentingnya ilmu pendidikan mempergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik
Keberadaan anak manusia sebagai terdidik
Tujuan pendidikan (educational aims and objectives)
Tindakan dan proses pendidikan (educative process)
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Mengningat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas diberbagai lembaga pendidikan formal dan nonformal, tentu tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang  berlaku umum, berupa rencana pelajaran atau konsep progam kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Dengan demikian, selain pedagogik praktis yang menelaah ragam pendidikan di berbagai lingkungan, diperlukan juga batang tubuh yang meliputi:
Konteks sosial budaya (socio cultural contexts and education)
Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
Teori, pengembangan, dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
Berbagai studi empiris tentang fenomena pendidikan
Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan), khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan spesific conten pedagogy.
Adapun telaah lingkup makro dan mikro dari pendidikan merupakan bidang telaah utama yang membedakan antara objek formal dari pedagogik dengan ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogik tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dengan pendidikan formal, hal itu menjadi tugas andragogi dan cabang-cabang lainnya yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya, dalam pedagogik terdapat pembicaraan tentang faktor pendidikan yang meliputi:
Tujuan hidup
Landasan falsafah dan yudiris pendidikan
Pengelolaan pendidikan
Teori dan pengembangan kurikulum
Pengajaran dalam arti pembelajaran, yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan nonformal yang terkait.

DASAR-DASAR FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

Dasar-dasar filsafat keilmuan terkait dengan pendidikan, antara lain:
Dasar ontologis ilmu pendidikan
Berbicara masaalah ontologi, tentunya tidak lepas dari filsafat. Karena filsafat diperlukan untuk menjelaskan dasar ontologis dari ilmu, termasuk ilmu pendidikan. Aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra adalah dunia pendidikan secara empiris. Objek materiil ilmu pendidikan adalah manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyrakat, ia mempunyai ciri warga yang baik.
Dalam situasi sosial, manusia sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima jika terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya sosio budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi, pada latar belakang mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan intern dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro.
Dasar Epistimologis Ilmu Pendidikan
Dasar epistimologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Pendekatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sebagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Oleh karena itu, penelaah atau pengumpulan data diarahkn oleh pendidik atau ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Inti dasar epistimologis ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek formalnya telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan, tetapi menuju telaah teori dan ilmu pendidikan sebgai ilmu otonom yang mempunyai objek formal sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental.
Dasar Aksiologis Ilmu Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai pendidikan tidak hanya bersifat instriksik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, tetapi juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif bagi pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antara pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagai pedagog.
Dasar Antropologis Ilmu Pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar adalah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula, dimana terjadi pemberian bantuan kepada bantuan kepada pihak yang ingin mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia di sekitarnya. Atas dasar pandangan filsafat yang bersifat dialogis ini, ada empat dasar antropologis yang berlaku universal, yaitu :
Sosialitas
Individualitas
Moralitas
Religiustas.

DAFTAR PUSTAKA
Musaheri, Pengantar Pendidikan, Yogyakarta, Ircisod, 2007
Hasbullah, dasar-dasar ilmu pendidikan, jakarta, pt grafindo persada, 2006, 
Hamdani, Filsafat Sains, Bandung, Cv Pustaka Setia, 2011
Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2008

PERANAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN SAINS


Kedudukan IT bagi Pendidikan di Indonesia
Seiring berkembangnya zaman, sudah tak terasa kita telah hidup di zaman yang penuh dengan kecanggihan dan semuanya serba praktis. Semua orang berlomba-lomba untuk dapat menciptakan hal yang baru dan dapat mempermudah pekerjaanya. Termasuk juga di dalamnya adalah perkembangan IT yang berkembang sangat pesat di dunia, khususnya di negara kita tercinta, Republik Indonesia.
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, dengan memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas. informasi yang dimaksudkan adalah informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu, yang dapat digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan. Informasi ini juga harus bernilai strategis sehingga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan.
Sekarang ini peranan IT dalam keidupan manusia sudah semakin penting. Karena seiring dengan perkembangan IT tersebut manusia banyak melakukan pekerjaannya di depan komputer maupun dengan menggunakan handphone untuk komunikasi. Dengan adanya kemajuan teknologi semakin mempermudah pekerjaan manusia dan serasadunia ada di genggaman kita. Selain itu, perkembangan IT juga sangat cepat, sehingga harus selalu mengikuti perkembangannya.
Perkembangan teknologi informasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia dalam memahami komponen teknologi informasi ( perangkat keras, perangkat lunak, komputer sistem jaringan, dan sistem telekomunikasi). Untuk membangun fasilitas TI, Indonesia masih sangat mengandalkan investor.
Kalau kita buat kronologi perkembangan IT di Indonesia dari zaman dulu sampai prediksi perkembangan IT di Indonesia saat ini yaitu:
Teknologi Informasi generasi awal
Di Indonesia pada masa lampau, komunikasi jarak jauh dilakukan dengan surat menyurat. Meskipun belum ada sistem pos, namun sistem pengiriman surat telah berlangsung sejak lama. Sistem teknologi informasi di Indonesia mulai mengalami perkembangan pada tahun 1855, atau tepatnya pada tanggal 23 Oktober 1855 ketika pemerintah Hindia Belanda membuka saluran telegraf pertama di Indonesia. Sejak saat itu, telegraf mulai banyak digunakan di Indonesia.
Pada tanggal 16 Oktober 1882, jaringan telepon lokal pertama kali digunakan di Indonesia oleh pihak swasta yang mendapat izin konsesi selama 25 tahun. Sejak saat itu, mulai bermunculan perusahaan-perusahaan jaringan telepon di Indonesia. Namun, pada masa awal ini, Perusahaan-perusahaan tersebut hanya membuka hubungan telepon di kota-kota besar saja. Pada tahun 1906, pemerintah pun mengambil alih dan memonopoli semua perusahaan jaringan telepon, kecuali jaringan telepon Perusahaan Kereta Api Deli. Pada tahun 1967, perusahaan telekomunikasi berhasil menyelesaikan pembangunan jaringan telekomunikasi Nusantara yang meliputi proyek gelombang mikro lintas Sumatra dan gelombang mikro lintas Indonesia Timur. Pada tanggal 9 Juli 1976, Indonesia kemudian meluncurkan satelit palapa. Dan dimulailah babak baru perkembangan teknologi informasi di Indonesia yang bergerak sangat cepat dan pesat sejak diluncurkannya satelit ini.
Indonesia mulai mengenal internet pada tahun 1990-an. Pengguna internet pertama di Indonesia pada tahun 1988 menggunakan CIX (Inggris) dan Compurserve (AS) untuk mengakses internet. Internet pun saat ini semakin sering digunakan dan semakin berkembang dengan pesat.

Teknologi informasi pada masa kini
Saat ini, kita telah memasuki era globalisasi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Di Indonesia pun informasi-informasi dari berbagai belahan dunia sudah dapat diakses dengan cepat dan mudah. Fasilitas internet  telah mengubah paradigma masyarakat menjadi semakin modern dan praktis. Internet saat ini semakin mudah diakses. Selain fasilitas warnet yang semakin banyak, orang-orang juga dapat mengakses internet melalui PC atau laptopnya di rumah, atau dengan memanfaatkan fasilitas hotspot, atau bahkan dengan menggunakan handphone.  Tidak hanya itu, internet saat ini telah dimanfaatkan sebagai media pembelajaran, bisnis, kemiliteran, dan berbagai bidang lain. Pemerintah Indonesia telah menjadikan internet sebagai salah satu bagian penting dalam berbagai bidang. Dengan memanfaatkan internet, Indonesia telah melakukan satu langkah maju untuk semakin berkembang dan maju pada masa yang akan datang.
Teknologi Informasi Pada Masa Yang Akan Datang
Melihat perkembangan teknologi  informasi saat ini, berbagai prediksi tentang perkembangan teknologi semakin banyak diutarakan. Namun, tentunya ada berbagai faktor yang akan mempengaruhi perkembangan teknologi informasi tersebut. Baik mendukung ataupun menghambat perkambangan tersebut. Hal-hal seperti kemampuan finansial pemerintah dan keterjangkauan daerah-daerah pelosok akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan teknologi informasi tersebut. Pada masa lalu, telah banyak tokoh-tokoh yang mengungkapkan prediksinya tentang perkembangan teknologi informasi. Seperti apa yang dikatakan Mason R. (1994) yang berpendapat bahwa pendidikan mendatang akan lebih ditentukan oleh jaringan informasi yang memungkinkan berinteraksi dan kolaborasi, bukannya gedung sekolah. Namun, teknologi tetap akan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Tony Bates (1995) juga mengungkapkan pendapatnya bahwa, teknologi dapat meningkatkan kualitas dan jangkauan bila digunakan secara bijak untuk pendidikan dan latihan, dan mempunyai arti yang sangat penting bagi kesejahteraan ekonomi. Yang jelas, apapun yang akan terjadi, teknologi informasi masih akan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Di Indonesia khususnya, di seluruh penjuru dunia secara umumnya.
Belakangan peranan IT dalam jasa transportasi pun sudah dapat kita rasakan. Sebagai contoh adanya kartu khusus yang dikeluarkan oleh beberapa bank swasta yang dapat kita gunakan untuk membayar tol, membeli bahan bakar, pembelian tiket busway, dan kereta.
Dalam dunia pendidikan khususnya pada tingkat perguruan tinggi, pemanfaatan IT diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-University). Pengembangan ini dilakukan dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga dapat menyediakan layanan informasi yang lebih baik bagi komunitasnya, baik didalam maupun diluar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Contoh, Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui sarana internet yaitu dengan menyediakan materi kuliah secara online dan materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan.
Dengan adanya perkembangan IT yang begitu pesat, juga harus diimbangi dengan kesadaran untuk menggunakan IT untuk kepentingan yang positif. Oleh karena tidak sedikit juga para ahli IT yang menggunakannya untuk kejahatan. Banyak situs porno yang makin marak beredar. Contoh lain adalah “demam” situs pertemanan yang tak jarang disalahgunakan. Hingga transaksi jual beli gadis lewat dunia maya. Hal ini tentu dapat mempengaruhi perkembangan anak dan remaja di negara kita. Dan perlu adanya pengawasan dari pihak yang berwenang agar dampak negatif dari IT dapat dikurangi. Karena remaja sekarang cenderung menggunakan Teknologi ke arah negatif, dan hal itu disebabkan jiwa mereka yang masih labil dan perlunya pendidik serta pembimbing untuk mengarahkan mereka ke arah yang benar sehinga dapat memajukan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Banyak manfaat yang dapat saya rasakan dengan adanya perkembangan IT diantaranya membantu saya dalam mengerjakan tugas-tugas kuliah, dengan mudah mentransfer uang, menambah teman melalui jejaring sosial, berkomunikasi dengan sangat mudah dan cepat. Selain itu, dengan berkembangnya IT maka dapat memajukan perekonomian Indonesia, sekarang juga terdapat bisnis online, transaksi melalui internet, serta banyak lagi manfaat yang lainya. Adapun kedudukan IT dalam pendidikan adalah
Mempermudahkan kerja sama antara pakar dengan siswa, menghilangkan batasan ruang, jarak, dan waktu.
Sharing information, sehingga hasil peneliti dapat digunakan bersama-sama dan mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Virtual university, yaitu dapat menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang banyak. 
Pemanfaatan IT bagi Pendidikan
Pesatnya perkembangan IT, khususnya internet memungkinkan pengembangan layanan informasi yang lebih baik dalam suatu institusi pendidikan. Di lingkungan perguruan tinggi, pemanfaatan IT lainnya yaitu diwujudkan dalam suatu sistem yang disebut electronic university (e-university). Pengembangan e-University bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan, sehingga perguruan tinggi dapat memberi pelayanan informasi yang lebih baik kepada komunitasnya, baik didalam maupun diluar perguruan tinggi tersebut melalui internet. Layanan pendidikan lain yang bisa dilaksanakan melalui internet yaitu dengan menyediakan materi kuliah secara on-line dan materi kuliah tersebut dapat diakses oleh siapa saja yang membutuhkan, sehingga memberikan informasi bagi yang sulit mendapatkannya karena problem ruang dan waktu.
Disamping lingkungan pendidikan, misalnya pada kegiatan penelitian kita dapat memanfaatkan internet guna mencari bahan atau pun data yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut melalui mesin pencari pada internet. Situs tersebut sangat berguna pada saat kita membutuhkan artikel, jurnal ataupun referensi yang dibutuhkan. Inisiatif-inisiatif penggunaan IT dan Internet di luar institusi pendidikan formal tetapi masih berkaitan dengan lingkungan pendidikan di Indonesia sudah mulai bermunculan. Salah satu inisiatif yang sekarang sudah ada adalah situs penyelenggara “Komunitas Sekolah Indonesia”. Situs yang menyelenggarakan kegiatan tersebut contohnya plasa.com dan smu-net.com
Pengembangan dan penerapan IT juga bermafaat untuk pendidikan dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas pendidikan nasional Indonesia. Salah satu aspeknya adalah kondisi geografis Indonesia dengan sekian banyaknya pulau yang berpencar-pencar dan kontur permukaan buminya yang seringkali tidak bersahabat, biasanya diajukan untuk menjagokan pengembangan dan penerapan IT untuk pendidikan. IT sangat mampu dan dijagokan agar menjadi fsasilitator utama untuk meratakan pendidikan di bumi nusantara, sebab IT yang mengandalkan kemampuan pembelajaran jarak jauhnya tidak terpisah oleh ruang, jarak dan waktu. Demi penggapaian daerah-daerah yang sulit tentunya penerapan ini agar dilakukan sesegera mungkin di Indonesia.
Adapun manfaat IT bagi bidang pendidikan yang lain adalah :
Akses ke perpustakaan
Akses ke pakar
Melaksanakan kuliah secara on line
Menyediakan layanan informasi akademik suatu institusi pendidikan
Menyediakan fasilitas mesin pencari data
Menyediakan fasilitas diskusi
Menyediakan fasilitas direktori alumni dan sekolah
Menyediakan fasilitas kerjasama
Perkembangan Pendidikan di Era Globalisasi
Globalisasi pada dasarnya merupakan produk dari modernisasi. Menurut nurcholish madjid, modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan umat. Oleh karena itu madjid, modernisasi berarti pula berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah (hukum ilahi) yang hak, sebab alam adalah hak. Sunnatullah telah mengejawatkan dirinya dalam alam, sehingga untuk dapat menjadi modern, manusia harus mengerti terlebih dahulu hukum-hukum yang berlaku dialam. Pemahaman manusia tentang hukum-hukum alam inilah yang kemudian melahirkan ilmu pengtahuan. Akibatnya, sering dikatakan bahwa modern berarti ilmiah. Selanjutnya, oleh karena ilmu pengetahuan ilmiah diperoleh manusia melalui akal (rasio), maka modern pula dapat berarti rasional. 
Di dalam oxford advanced learner’s dictionary of current English disebutkan bahwa istilah globalisasi berasal dari kata global yang bahasa inggrisnya berarti embracing the whole of a group of items (merangkul keseluruhan kelompok yang ada). Supriyoko menunjukan bahwa dalam globalisasi terdapat saling ketrgantungan (interdependency) dalam masalah-masalah sosial, politik, dan kultural antar bangsa. Artinya perkembangan perikehidupan sosial, kultural dan politik suatu bangsa akan saling mengait dengan bangsa lainnya. Sebagai contoh, sikap amerika serikat terhadap Negara-negara arab dan sikap eropa terhadap bosnia sangat mempengaruhi kebijkan-kebijakan politik negara lainnya.
Era globalisasi merupakan produk pembangunan yang dimotori oleh barat selaku konstelasi dunia dalam bidang iptek dan ekonomi. Namun perlu disadari pula bahwa keberhasilan barat menjadi pihak yang paling berpengaruh di dunia sesungguhnya tidak terlepas dari peran lembaga pendidikannya. Dengan kata lain globalisasi tidak terlepas dari keberadaan lembaga pendidikan selaku pencetak sumber daya manusia (SDM.) munculnya kategori berkembang (developing countries) dan Negara-negara maju (developed countries), misalnya, pada dasarnya disebabkan atas perbedaan tingkat kualitas SDM untuk keperluan modernisasi. Dengan menggunakan perspektif sosiologi pendidikan, dalam hal ini, akan menyoroti persoalan globalisasi dan dampak yang ditimbulkannya. Globalisasi ternyata membawa masyarakat modern kepada krisis spiritual.                
Era globalisasi juga, ada kecenderungan yang kuat terjadinya proses universalisasi yang melanda seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satu implikasi penyeragaman terlihat dengan munculnya gaya hidup global seperti: makanan, pakaian dan musik. Anak-anak kecil yang telah mengenal film-film kartun dari berbagai negara, kita yang sudah mengenal berbagai jenis makanan dari berbagai bangsa, demam mode dunia yang melanda semua negara adalah contoh nyata bahwa pengaruh global mengalir tanpa terbendung di negara kita.
Banyak hal yang perlu dicermati agar sebagai bangsa kita tidak tertinggal oleh hal-hal baru yang terjadi secara global sehingga kita bisa beradaptasi dengan negara-negara di dunia. Di sisi lain kita juga harus punya filter yang kuat agar pengaruh globalisasai yang negatif tidak mengganggu kehidupan bangsa kita yang menjunjung tinggi budi pekerti dan memiliki budaya yang luhur. Hal ini penting agar kita bisa menjadi bangsa yang bermartabat tanpa harus ketinggalan dengan negara-negara lain.
Di bidang pendidikan, peran guru untuk mendidik peserta didik menjadi manusia yang selalu mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan akar budaya sangat penting dalam menentukan perjalanan generasi bangsa ini. Guru dituntut menjadi pendidik yang bisa menjembatani kepentingan-kepentingan itu. Tentu saja melalui usaha-usaha nyata yang bisa diterapkan dalam mendidik pesera didiknya.

DAFTAR PUSTAKA
Drs. Hamdani, M.A. Filsafat Sains, Bandung, Pustaka Setia 2011.
Abdullah Idi Dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya 2006.
http://tanpasekolah.wordpress.com/2012/04/19/kedudukan-dan-pemanfaatan-teknologi-iinformasi-dalam-pembelajaran/ 21.00
http://rythasartika.blogspot.com/21.00

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU BAGI PENDIDIKAN (Suatu Tinjauan Filsafat Sains)


           Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
           Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?. Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
Pendidikan dalam Praktek Memerlukan  teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”. Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).                         
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :
“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.

DAFTAR PUSTAKA

Hamdani. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. 2011.
Ahmadi, Abu. Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. 2001.
Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan. Rosdakarya: Bandung 2002.
  

Nikah Massal

Nikah adalah salah satu ajaran Nabi Adam as. yang diteruskan di dalam ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan sangat ditegaskan bagi seluruh ummatnya dengan berbagai ungkapan. Salah satunya adalah ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ عَمَلِهِ فِى السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ. فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ. فَقَالَ « مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّى أُصَلِّى وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » {رواه مسلم}[1]

Artinya : “Dari Anas ra, bahwa beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. memuji Allah dan bersabda: Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” [HR. Muslim]
Hadits ini menunjukkan bahwa perkawinan merupakan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun perkawinan diisyaratkan agar manusia mempunyai keterununan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena begitu pentingnya masalah perkawinan ini, maka dianggap perlu untuk membuat suatu aturan tentang hal tersebut agar dapat menghadirkan kemaslahatan bagi pasangan tersebut dan orang-orang di samping mereka.
Adapun mengenai hukum keluarga di Indonesia, telah terjadi pembaharuan yang begitu brilliant dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan dikeluarkannya Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sebelum UU ini disahkan, hukum Islam hanya berada di tataran hukum yang tidak tertulis, ia tidak memilki kekuatan hukum tetap, dan hanya merupakan bagian dari adat masyarakat Indonesia. Ia merupakan kumpulan norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang berasal dari unsur-unsur hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat. Namun, dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut, berarti merupakan pukulan yang amat telak terhadap teori receptie.
Menurut undang-undang tersebut, mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan berdasarkan isi undang-undang ini, maka aspek hukum dari pencatatan nikah adalah, untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal perkawinan dan nasab anak. Akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah, adanya benturan pemikiran antara pemerintah dan ulama, terlebih lagi setelah di keluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mensahkan pernikahan di bawah tangan. Pengesahan ini dihasilkan dari Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur pada tahun 2007. Dalam hal ini, peserta ijtima’ sepakat bahwa pernikahan di bawah tangan hukumnya sah, karena telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah. Namun, nikah tersebut menjadi haram apabila di kemudian hari terjadi kemudharatan, seperti istri dan anak-anaknya telantar.
Fatwa ini sesungguhnya telah menjadi kerikil tajam dalam perjalanan pemerintah (khususnya Departemen Agama) dalam mensosialisasikan masalah pencatatan nikah, apalagi dengan cost yang tidak sedikit, seperti lomba keluarga sakinah dll. Namun sesungguhnya bukan masalah perdebatan tentang pencatatan nikah ini yang menjadi fokus tulisan ini, akan tetapi tentang maraknya nikah masal yang seolah-olah merupakan kebijakan baru dari Departemen Agama (saat ini Kementerian Agama) karena begitu sering acara ini difasilitasi oleh Departemen Agama itu sendiri. Dan yang sangat menarik untuk dikaji di dalam tulisan ini adalah, bahwa peserta yang mengikuti nikah masal ini hampir rata-rata (dan bisa dikatakan mayoritasnya) adalah pasangan yang telah menikah sebelum di keluarkannya undang-undang tentang perkawinan. Sebagai contoh adalah, acara nikah masalah yang dilakukan di Depok dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Begitu juga dengan di Lampung, di mana acara nikah masalah ini dilakukan besar-besaran dalam acara Festival Krakatau, bahkan pemerintah daerah (dalam hal ini pemeritah provinsi) mendapatkan penghargaan dari Musium Rekor Indonesia (MURI) dengan predikat acara nikah masal terbesar di Indonesia. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas peserta nikahnya adalah pasangan yang telah menikah sebelum undang-undang perkawinan keluar.
Sesungguhnya hal ini menjadi menarik untuk dikaji adalah, karena di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa, dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Dan pada pasal (3) disebutkan bahwa, itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan (a) adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perkawinan; (b) hilangnya Akta Nikah; (c) adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan; (e) perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974.
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa mereka yang melakukan perkawinan sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974, harus meminta ketetapan nikah, yang disebut dengan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, bukan melalui nikah masal. Akan tetapi saat ini, nikah masalah telah menjadi realita sosial yang tidak dapat dipungkiri dan bahkan menjadi alternatif baru yang sangat solutif bagi masyarakat. Oleh karenanya, melalui tulisan ini, penulis ingin mencoba untuk menjawab permasalahan ini dengan beberapa pendakatan yang akan penulis tuangkan di dalam pembahasan.
B. Pembahasan.
Menurut Undang-undang perkawinan di Indonesia, sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Undang-Undang Perkawinan (UUP) Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama, dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan (2) merupakan syarat kumulatif, bukan syarat alternatif. Oleh karena itu menurut Undang-undang Perkawinan bahwa perkawinan yang dilakukan menurut fiqh Islam tanpa pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang sah. Dengan demikian bahwa akta perkawinan (Nikah) tersebut merupakan hal yang sangat menentukan akan kebenaran suatu permasalahan apabila diperkarakan.
Dalam lingkungan Internasional, Akta Catatan Sipil mendapat pengakuan yang sah. Namun, seperti yang telah penulis paparkan di dalam pendahuluan di atas, bahwa tidak dapat dipungkiri (merupakan realita sosial) bahwa nikah masal merupakan alternatif baru yang sangat memberikan solusi bagi masyarakat Indonesia saat ini. Maka, untuk menegaskan betapa pentingnya hal tersebut, penulis dalam hal ini memberikan tiga pendekatan sebagai solusi memecahkan masalah nikah masal versus itsbat nikah ini di Indonesia. Ketiga pendekatan itu adalah pendekatan historis, pendekatan kaidah fiqh dan pendekatan mashlahat.
Pendekatan Historis.
Dalam formulasi yang sederhana dapat dinyatakan bahwa pada hakikatnya hukum Islam di Indonesia adalah norma-norma hukum yang bersumber dari syari’at Islam yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat sepanjang bentangan sejarah Indonesia. Ia terlahir dari hasil perkawinan antara hukum Islam normatif (syari’ah) dengan muatan-muatan lokal Indonesia. Oleh karenanya, untuk melihat hukum Islam di Indonesia secara utuh, penggunaan perspektif historis sangatlah penting.
Adapun nikah masal dalam hal ini, diartikan sebagai tajdid al-nikah (pembaharuan nikah) atau nikah ulang, di mana hal tersebut dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Dalam menjelaskan tentang pencatatan perkawinan, Ahmad Rofiq menyatakan bahwa, tidak dituliskannya di dalam kitab-kitab fiqh klasik tentang pencatatan nikah adalah karena boleh jadi ketika kitab-kitab fiqh itu ditulis, tingkat amanah kaum muslimin relatif tinggi, sehingga kemungkinan menyalahgunakan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat atau sementara, yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain, relatif kecil.
Adapun penjelasan tentang itsbat nikah, hanya berada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) bukan di dalam undang-undang. Secara historis, KHI disahkan pada tanggal 1 tahun 1991, di mana ekonomi negara dan keadaan masyarakat dalam keadaan stabil. Artinya, dalam mengajukan itsbat nikah pun dimungkinkan masyarakat tidak akan merasakan kesulitan. Hal ini menjadi berbeda dengan konteks sosial dan ekonomi masyarakat saat ini yang kurang stabil, ditambah dengan krisis global yang tidak kunjung selesai. Artinya, jika setiap pasangan yang menikah sebelum undang-undang perkawinan keluar dan harus meminta itsbat nikah ke Pengadilan Agama, maka mereka akan merasakan kesulitan finansial yang berkepanjangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka nikah masal menjadi sutu alternatif yang mumpuni karena pemerintah hanya membayar biaya nikah sebesar tiga puluh ribu rupiah (Rp.30.000,-) untuk satu pasangan, artinya cost (biaya) pemerintah untuk acara nikah masal tersebut sangatlah murah. Berbeda dengan cost (biaya) yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pengejuan itsbat nikah ke Pengadilan Agama yang berkisar dari seratus ribu sampai mencapai tiga ratus ribu rupiah untuk satu kasus, sesuai dengan jaraknya masing-masing ke Pengadilan Agama. Artinya, pemerintah dalam hal ini akan membutuhkan banyak dana yang harus di keluarkan, demi terwujudnya tertib administrasi nikah di masyarakat. Namun dalam hal ini, nikah masal bagi pasangan tua tersebut, merupakan solusi jangka pendek yang suatu saat (yakni ketika tingkat ekonomi masyarakat sudah mulai mapan) dapat ditinggalkan dan dihapuskan.
2.      Pendekatan Kaidah Fiqh.
Jaih Mubarok menyebutkan bahwa urgensi dari adanya kaidah fiqh adalah, sebagai dasar untuk menentukan hukum bagi persoalan-persoalan yang belum diketahui hukumnya. Dan agar ulama’, hakim, dan mufti memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan suatu sengketa atau kasus-kasus di masyarakat. Dan jika dilihat dari kegunaannya secara general, maka dapat diketahui bahwa al-qawa’id al-fiqhiyah berguna sebagai ringkasan terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai satu kaidah berarti telah menguasai sebagian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari al-qawa’id dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh. Tidaklah didapatkan dalam keterangan ini bahwa dengan al-al-qawa’id al-fiqhiyah maka dapatlah kita menentukan suatu hukum baru, meskipun al-al-qawa’id al-fiqhiyah dapat didefinisikan  sebagai ;
حكم شرعي فى قضية أغلبية يتعرف منها أحكام مادخل تحتها 
Artinya : “Hukum syara’ yang berbentuk putusan umum yang dengan kata putusan itu, hukum-hukum masalah yang berada di bawahnya dapat diketahui.”
Dengan demikian, penulis dalam hal ini juga menggunakan kaidah fiqh untuk menjawab permasalahan di atas, adapun kaidah yang dipakai adalah :
ما لا  يـتم الواجب  إلا به فهو واجب
Artinya : “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.”
Berkaitan dengan penggunaan kaidah ini, penulis beranggapan bahwa nikah masal merupakan suatu kebijakan yang sengaja dibuat dan diterapkan dalam rangka menyempurnakan kualitas perkawinan, yakni dengan mendapatkan legalisasi nikah berupa buku nikah melalui nikah masal. Penyempurnaan kwalitas ini berkaitan erat dengan status perkawinan yang merupakan bagian dari perintah Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya. Karena tujuan yang luhur tersebut, maka segala peraturan yang dapat memberikan kelapangan terhadap orang yang tidak mampu adalah merupakan sesuatu yang harus.
Nikah masal dalam hal ini, merupakan sarana untuk membantu seseorang memperoleh legalisasi perkawinan. Dengan demikian, maka berlakulah kaidah di atas, dengan artian bahwa, menolong seseorang merupakan sesuatu yang wajib dan memberikan kelapangan atau sarana pertolongan kepada seseorang tersebut juga menjadi wajib. Lebih tegasnya lagi adalah, tidaklah sempurna menolong seseorang tanpa memberikan sarana (keleluasaan dan kelapangan) pertolongan kepadanya.
3. Pendekatan Mashlahat.
Pesan yang dibawa oleh agama Islam adalah untuk semua makhluk hidup (universal) di bawah prinsip umum yang tertera di dalam al-Qur’an yakni, rahmatan li al-‘alamin (membawa rahmat bagi semesta alam). Artinya, segala tindakan manusia hanya dapat dibenarkan menggunakan justifikasi agama yang sejauh ini selalu mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum (li tahqiq mashalih al-‘ammah), bukan kemashlahatan yang bersifat perseorangan dan kasuistis. Oleh karenanya, kemashlahatan manusia merupakan tujuan penting dari pelaksanaan syari’ah. Dengan demikian, maka tujuan Allah swt (syari’) dalam menurunkan suatu syari’at tidak lain adalah untuk menghasilkan kemashlahatan manusia itu sendiri.
Secara etimologi, mashlahat berarti manfaat dan secara terminologi diartikan dengan mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’. Berdasarkan pengertian ini, didapatkan bahwa kemashlahatan dihubungkan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai manusia dan jika sesuatu ini bertentangan dengan syara’, maka tidak bisa hal tersebut dapata disebut sebagai mashlahat. Kriteria dari mashlahat yang merupakan tujuan dari syari’ah itu adalah, tegaknya kehidupan di dunia dan akhirat.
هذه الشر يعة… فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا
Artinya : “syari’ah ini…bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di akherat dan dunia bersama.”
Muhammad Abu Zahrah dalam kaitan ini menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum Islam adalah kemaslahatan. Tak satupun hukum yang disyariatkan baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan.  Hal ini berbeda dengan isi pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang sarat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Di mana pada suatu saat, maksud hukum tersebut berkemungkinan lari dari makna kemashlahatan. Artinya, isi pasal tersebut dahulu_sampai sebelum adanya krisis multidimensional di Indonesia_telah mendatangkan kemashlahatan, akan tetapi jika diterapkan pada masa sekarang ini, maka dimungkinkan akan menimbulkan kemudharatan. Oleh karena itu, masalah nikah masal dan itsbat nikah ini perlu dibedakan, jangan dipertentangkan. Apalagi masalah nikah masal tersebut didukung oleh data-data yang faktual, di mana mayoritas para peserta yang mengikuti nikah masal adalah pasangan tua yang sudah menikah sebelum keluarnya undang-undang tentang perkawinan, dan mereka benar-benar merupakan pasangan yang taraf hidupnya berada pada tingkat ekonomi yang rendah.
Mengenai masalah kemashlahatan, Amir Syarifuddin menjelaskan dengan santun bahwa, bukan fiqh yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada orang-orang yang tidak menempati fiqh yang ditulis waktu itu, untuk kepentingan sekarang.  Ungkapan ini juga relevan untuk menjelaskan tentang hukum keluaraga di Indonesia, di mana setiap individu harus melihat permasalahan nikah masal dan itsbat nikah tersebut dalam kerangka yang berbeda-beda. Jangan hanya melihat dari segi teks pasal saja, namun juga harus dilihat unsur-unsur kemashlahatan di masyarakat, sehingga hukum Islam akan terus shalihun likulli zaman wa makan.
C. Kesimpulan.
Nikah masal hendaknya tidak dijustifikasi negatif dari segi teks peraturan hukum keluarga Islam yakni Kompilasi Hukum Islam saja, akan tetapi perlu diberikan solusi yang bijak melalui data-data empiris yang penuh dengan kemashlahatan di dalamnya. Dan dalam hal ini, nikah masal yang diikuti oleh pasangan tua yang sudah menikah sebelum keluarnya peraturan perundang-undang merupakan realita sosial yang tidak dapat dipungkiri. Oleh karenanya, nikah masal merupakan solusi positif bagi pasangan yang tidak mampu, namun sebatas jangka pendek. Di mana, ketika ekonomi masyarakat sudah mulai mapan, maka nikah masal bagi pasangan seperti yang ada di atas harus dicegah.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995)
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah al-Qawa’id Fiqhiyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004
Al-Ghazali, al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983)
Al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), Juz I
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1993)
Amrullah Ahmad SF. (ed) Busthanul Arifin: Pikiran dan Peranannya dalam Pelembagaan Hukum Islam Dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
Departemen Agama RI, Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991; Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam, 2001)
Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya bagi Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006)
Jaih Mubarak, al-Qawa’id Fiqih; Sejarah dan al-Qawa’id Asasi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Diterjemahkan oleh Saefullah Ma’shum dkk., (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005)
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993),
Pencatatan Nikah Akan Memperjelas Status Hukum, dalam http//nikah.com, 6 Januari 2007
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusu Untuk Anggota ABRI; Anggota POLRI; Pegawai Kejaksaan; Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000)
Shahih Muslim, Bab Istihbab al-Nikah Liman Taqat Nafsahu, No. 3469,  Juz 4, CD al-Maktabah al-Syamilah
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996)

FILSAFAT DAN PENDIDIKAN


Filsafat Adalah Ilmu pengetahuan yang memikirkan segala sesuatu secara Radikal, Universal, Sistematis, Demi mencapai kebenaran yang hakiki, filsafat merupakan kegiatan berfikir dan produk berfikir.
Sedangkan pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi manusiawi peserta didik, baik potensi fisik, potensi cipta, rasa maupun karsa agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam perjalanan kehidupan. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan secara menyeluruh. Pendidikan bertujuan mmenyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. JadiFilsafat pendidikanAdalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena itu bersifat filosof terhadap lapangan pendidikan. Hubungan antara filsafat dan pendidikan tapaknya tidak dapat dipisahkan lagi, karena kajian filsafat dan pendidikan harus menoleh kembali pada hakekat manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan. Pertanyaan yang mengarah kepada pemikiran filsafat pendidikan yang menurut Jacques Maritain dikutip kembali oleh Jalaluddin (1996:16) berawal dari: siapa kita, di mana kita dan kemana kita akan pergi, dikaji dalam konteks tujuan penciptaannya. Ketiga pertanyaan yang sederhana itu dihubungkan dengan fungsi dan hakikat manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan. Dan kiranya arti inilah yang mendorong para filosof mengarahkan pandangan mereka pada konsep agama
Beberapa aliran filsafat pendidikan adalah:
Filsafat pendidikan Progresivisme, yang didukung oleh filsafat pragmatisme;
Filsafat pendidikan esensialisme, yang didukung oleh idealisme dan realisme;
Filsafat pendidikan perenialisme, yang didukung oeh idealisme.
Objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, tidak terbatas. Inilah yang disebut dengan objek material filsafat. Dengan demikian yang membedakan antara objek filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya adalah Filsafat bisa kita bedakan dengan ilmu pengetahuan lainnya dari segi sifat penyidikannya. Filsafat memiliki sifat mendalam dalam penyelidikan sesuatu. Di sinilah letak perbedaan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan lainnya. Filsafat berbeda dari ilmu pengetahuan karena beda objek formalnya.
Objek penyelidikan ilmu pengetahuan hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara ilmiah saja, dan jika sudah tidak dapat diselidiki lagi maka ilmu pengetahuan akan terhenti sampai situ saja. Tetapi penyelidikan filsafat tidaklah demikian, filsafat akan terus bekerja hingga permasalahannya dapat ditemukan sampai ke akar-akarnya. Bahkan filsafat baru menampakkan hasil kerjanya manakala ilmu pengetahuan sudah terhenti penyelidikannya, yakni ketika ilmu tidak mampu memberi jawaban atas masalah. Inilah suatu ciri khas sifat penyelidikan fisafat, yang tidak dimiliki oleh ilmu pengetahuan. Sedangkan Kesamaan Antara filsafat dengan ilmu pengetahuan adalah objek filsafat yang dimaksud adalah objek materialnya, sebab ilmu pengetahuan pun mempunyai objek material yang sama dengan filsafat, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada.
Dapat disimpulkan Sifat – sifat penyelidikan dalam filsafat mempunyai tiga tahap :
Tahap Pertama, Menyeluruh, artinya melihat atau memandang objeknya secara menyeluruh (totalitas).
Tahap kedua, Mendasar, artinya filsafat menyelidiki objeknya sampai ke akar – akarnya, sampai ditemukannya hakikat sesuatu yang diselidiki.
Tahap Ketiga, Spekulatif, artinya hasil yang diperoleh dari penyelidikan filsafat baru berupa dugaan-dugaan belaka, dan bukan kepastian. Dugaan dugaan yang dimaksud disini, adalah dugaan-dugaan yang logis, masuk akal dan rasional, bukan dugaan yang hampa.
Menurut progresivisme, niai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan niai teah disimpan daam kebudayaan. Beajar berfungsi untuk mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompeks. Kurikulum baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat di sesuaikan dengan kebutuhan.

Kebutuhan Filsafat dan Pendidikan
Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masaah hidup dan kehidupan manusia, sedangkan pendidikan merupakan salah satu dari aspek kehidupan tersebut karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan dan menerima pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan memerlukan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah - masalah yang lebih luas, lebih dalam, dan lebih kompleks, yang tidak dibatasi oeh pengalaman ataupun fakta faktual, dan tidak memungkinkan untuk dijangkau oeh ilmu.
Seorang guru, baik sebagai pribadi maupun sebagai pelaksana pendidikan, harus mengetahui filsafat dan filsafat pendidikan.seorang guru harus memahami filsafat pendidikan karena tujuan pendidikan selalu berhubungan langsung dengan tujuan kehidupan individu dan masyarakat penyelenggara pendidikan. hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah filsafat menelaah realitas dengan luas dan menyeluruh, sesuai dengan karakteristik filsafat yang radikal, sistematis, dan menyeluruh. Konsep tentang dunia dan tujuan hidup manusia yang merupakan hasil dari studi filsafat akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan. Dengan demikian, bangun sistem pendidikan dan praktik pendidikan akan dilaksanakan berorientasi pada tujuan pendidikan ini. Menurut Brubacher (1950) (Sadulloh, 2003) mengemukakan, hubungan antara filsafat dan filsafat pendidikan bahwa filsafat tidak hanya melahirkan ilmu atau pengetahuan baru, tetapi melahirkan pendidikan. Dengan demikian, filsafat pendidikan harus dapat menjawab pertanyaan pertanyaan mendasar daam pendidikan. Sadulloh merumuskan empat pertanyaan mendasar pendidikan sebagai berikut.
Apakah pendidikan itu
Mengapa manusia harus melaksanakan pendidikan
Apakah seharusnya dicapai dalam proses pendidikan
Dengan cara bagaimana cita – cita pendidikan, baik yang tersurat maupun yang tersirat dapat dicapa
Jawaban atas keempat pertanyaan tersebut sangat bergantung dan ditentukan oeh pandangan hidup dan tujuan hidup manusia, baik secara individu maupun secara bersama-sama (masyarakat atau bangsa). Filsafat pendidikan tidak hanya terbatas pada fakta faktual, tetapi harus sampai pada penyelesaian tuntas tentang baik dan buruk, tentang persyaratan hidup sempurna.  Ini berarti pendidikan adalah pelaksana dari ide-ide filsafat. Dengan kata lain, filsafat memberikan asas kepastian bagi nilai peranan pendidikan dan aktivitas penyelenggaraan pendidikan.
Jadi, peranan filsafat pendidikan merupakan sumber pendorong adanya pendidikan. Dalam bentuk yang lebih terperincian lagi. Filsafat pendidikan menjadi jiwa dan pedoman asasi pendidikan. Pendidikan merupakan usaha untuk  merealisasikan ide-ide  ideal dari filsafat menjadi kenyataan, tindakan, tingkah laku, dan pembentukan kepribadian.

Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan islam memperbincangkan filsafat tentang pendidikan bercorak Islam yang berisi berbagai perenungan mengenai pendidikan Islam dan usaha usaha pendidikan yang dilaksanakan agar berhasil sesuai dengan hukum-hukum islam. Filsafat pendidikan yang berdasarkan islam adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran islam dan yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran tersebut. Dengan kata lain, filsafat pendidikan islam adalah suatu analisis atau suatu pemikiran rasional, kritis, sistematis, radikal dan universal untuk memperoleh pengetahuan mengenai hakikat pendidikan islam.
Asy-Syaibany menandaskan bahwa filsafat pendidikan islam harus mengandung unsur – unsur dan syarat – syarat sebagai berikut:
Dalam segara prinsip, kepercayaan, dan kandungannya sesuai dengan roh (spirit) islam.
Berkaitan dengan realitas masyarakat dan kebudayaan serta sistem sosia, ekonomi, dan politiknya.
Bersifat terbuka terhadap segala pengalaman baik (hikmah)
Pembinaanya berdasarkan pengkajian yang mendalam dengan memperhatikan aspek –aspek yang melingkungi.
Bersifat universal dengan standar keimuan.
Selektif, dipiih yang penting dan sesuai dengan roh agama islam.
Bebas dari pertentangan dan persanggahan antara prinsip – prinsip dan kepercayaan yang menjadi dasarnya.
Proses percobaan yang sungguh – sungguh terhadap pemikiran pendidikan yang sehat, mendalam, dan jelas.
Objek kajian filsafat pendidikan islam, menurut Abdul Munir Mulkhan, dibedakan menjadi jenis, yaitu objek material dan objek formal. Obyek material filsafat pendidikan islam adalah bahan dasar yang dikaji dan di analisis, sementara obyek formalnya adalah cara pendekatan atau sudut pandang terhadap bahan dasar tersebut. Dengan demikian obyek material filsafat pendidikan islam adalah segala usaha manusia untuk menciptakan kondisi yang memberi peluang perkembangan kecerdasan, pengetahuan, dan kepribadian manusia melalui pendidikan. Adapun obyek formalnya adalah Aspek khusus usaha manusia secara sadar, yaitu menciptakan kondisi yang memberi peluang pengembangan kecerdasan, pengetahuan, dan kepribadian sehingga manusia memiliki kemampuan untuk menjalani dan menyelesaikan permasalahan hidupnya dengan menempatkan islam sebagai hudan dan furqon. Menurut Arifin filsafat pendidikan islam merupakan ilmu yang ekstensinya masih dalam kondisi permulaan perkembangan sebagai disipin keimuaan pendidikan. Demikian pua sistematikannya, filsafat pendidikan islam masih dalam proses penataan yang akan menjadi penunjuk arah bagi teorisasi pendidikan islam.

Daftar Pustaka
Hamdani, Filsafat Sains, Bandung, Pustaka Setia, 2011
Praja S. Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, Bandung, Prenada Media, 2003
Efferi Adri, Filsafat Pendidikan Islam, Kudus, Nora Media Enterprise, 2011

Sabtu, 17 September 2016

Analisis Isi (konten)

Pengertian Analisis Isi

Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi.

Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian. Holsti menunjukkan tiga bidang yang banyak mempergunakan analisis isi, yang besarnya hampir 75% dari keseluruhan studi empirik, yaitu penelitian sosioantropologis (27,7 persen), komunikasi umum (25,9%), dan ilmu politik (21,5%).

Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian analisis isi, yang dapat terdiri atas 2 macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus” yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program.
Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut:

1. Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript).
2. Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.
3. Peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahan-bahan/data-data yang dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sangat khas/spesifik.

Desain Analisis Isi

Setidaknya dapat diidentifikasi tiga jenis penelitian komunikasi yang menggunakan analisis isi. Ketiganya dapat dijelaskan dengan teori 5 unsur komunikasi yang dibuat oleh Harold D. Lasswell, yaitu who, says what, to whom, in what channel, with what effect. Ketiga jenis penelitian tersebut dapat memuat satu atau lebih unsur “pertanyaan teoretik” Lasswell tersebut.

Pertama, bersifat deskriptif, yaitu deskripsi isi-isi komunikasi. Dalam praktiknya, hal ini mudah dilakukan dengan cara melakukan perbandingan. Perbandingan tersebut dapat meliputi hal-hal berikut ini:

1. Perbandingan pesan (message) dokumen yang sama pada waktu yang berbeda. Dalam hal ini analisis dapat membuat kesimpulan mengenai kecenderungan isi komunikasi.
2. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama/tunggal dalam situasi-situasi yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang pengaruh situasi terhadap isi komunikasi.
3. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama terhadap penerima yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang pengaruh ciri-ciri audience terhadap isi dan gaya komunikasi.
4. Analisis antar-message, yaitu perbandingan isi komunikasi pada waktu, situasi atau audience yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang hubungan dua variabel dalam satu atau sekumpulan dokumen (sering disebut kontingensi (contingency).
5. Pengujian hipotesis mengenai perbandingan message dari dua sumber yang berbeda, yaitu perbedaan antarkomunikator.

  Kedua, penelitian mengenai penyebab message yang berupa pengaruh dua message yang dihasilkan dua sumber (A dan B) terhadap variabel perilaku sehingga menimbulkan nilai, sikap, motif, dan masalah pada sumber B.
Ketiga, penelitian mengenai efek message A terhadap penerima B. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah efek atau akibat dari proses komunikasi yang telah berlangsung terhadap penerima (with what effect)?

Tahapan Proses Penelitian Analisis Isi

Terdapat tiga langkah strategis penelitian analisis isi.
Pertama, penetapan desain atau model penelitian. Di sini ditetapkan berapa media, analisis perbandingan atau korelasi, objeknya banyak atau sedikit dan sebagainya.
Kedua, pencarian data pokok atau data primer, yaitu teks itu sendiri. Sebagai analisis isi maka teks merupakan objek yang pokok bahkan terpokok. Pencarian dapat dilakukan dengan menggunakan lembar formulir pengamatan tertentu yang sengaja dibuat untuk keperluan pencarian data tersebut.
Ketiga, pencarian pengetahuan kontekstual agar penelitian yang dilakukan tidak berada di ruang hampa, tetapi terlihat kait-mengait dengan faktor-faktor lain.

METODE ANALISIS ISI
Dasar-dasar Rancangan Penelitian Analisis Isi
Prosedur dasar pembuatan rancangan penelitian dan pelaksanaan studi analisis isi terdiri atas 6 tahapan langkah, yaitu:

(1) merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesisnya,
(2) melakukan sampling terhadap sumber-sumber data yang telah dipilih,
(3) pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis,
(4) pendataan suatu sampel dokumen yang telah dipilih dan melakukan pengkodean,
(5) pembuatan skala dan item berdasarkan kriteria tertentu untuk pengumpulan data, dan (6) interpretasi/ penafsiran data yang diperoleh.

Urutan langkah tersebut harus tertib, tidak boleh dilompati atau dibalik. Langkah sebelumnya merupakan prasyarat untuk menentukan langkah berikutnya. Permulaan penelitian itu adalah adanya rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang dinyatakan secara jelas, eksplisit, dan mengarah, serta dapat diukur dan untuk dijawab dengan usaha penelitian.
Pada perumusan hipotesis, dugaan sementara yang akan dijawab melalui penelitian, peneliti dapat memilih hipotesis nol, hipotesis penelitian atau hipotesis statistik.

Penarikan sampel dilakukan melalui pertimbangan tertentu, disesuaikan dengan rumusan masalah dan kemampuan peneliti.
Pembuatan alat ukur atau kategori yang akan digunakan untuk analisis didasarkan pada rumusan masalah atau pertanyaan penelitian, dan acuan tertentu. Misalnya, kategori tinggi-sedang-rendah, dengan indikator-indikator yang bersifat terukur.Kemudian, pengumpulan atau coding data, dilakukan dengan menggunakan lembar pengkodean (coding sheet) yang sudah dipersiapkan. Setelah semua data diproses, kemudian diinterpretasikan maknanya.

Teknik Pembuatan Skala pada Analisis Isi

Telah dijelaskan dua macam teknik penskalaan (scaling) yang bertujuan khusus untuk mengukur intensitas.
Pertama, metode Q-Sort, menyediakan suatu cara penskalaan universe pernyataan-pernyataan mengenai variabel tertentu. Skala Q-Sort mempergunakan distribusi skala 9 titik. Pada lajur pertama, (Y) berisi 9 point nilai, yang menunjukkan tingkat terendah (1) sampai tingkat tertinggi (9), dan lajur kedua (X) yang menunjukkan persentase pernyataan dalam tiap kategori. Untuk menentukan item-item masuk pada kategori tertentu pada skala yang telah tersedia, dipakai orang-orang yang dianggap sebagai juri penilai. Dalam hal ini perlu ditetapkan keterandalan (reliabilitas) alat ukur, dan kesahihan (validitas) pengukuran.

Kedua, metode skala perbandingan pasangan (pair comparison scaling), yaitu teknik menentukan skala relatif item-item yang tidak melibatkan distribusi nyata. Penggunaan metode ini adalah untuk mengetahui pernyataan-pernyataan yang paling intens di antara pasangan-pasangan yang mungkin. Keseluruhan metode ini akan menghasilkan suatu skala relatif antaritem.

Reliabilitas dan Validitas

Masalah reliabilitas (keterandalan) dan validitas pengukuran (kesahihan) merupakan 2 hal pokok dalam penelitian yang tidak boleh ditinggalkan. Reliabilitas didefinisikan sebagai keterandalan alat ukur yang dipakai dalam suatu penelitian. Apakah kita benar-benar dapat mengukur dengan tepat sesuai dengan alat atau instrumen yang dimiliki.
Dikenal beberapa jenis reliabilitas, yaitu berikut ini.

1. Intercoder dan intracoder, yaitu pemberian kode dari luar dan dari dalam.
2. Pretest, yaitu pengujian atau pengukuran perbedaan nilai antara juri-juri pemberi nilai.
3. Reliabilitas kategori, yaitu derajat kemampuan pengulangan penempatan data dalam berbagi kategori.

Validitas adalah kesahihan pengukuran atau penilaian dalam penelitian. Dalam analisis isi, validitas dilakukan dengan berbagai cara atau metode sebagai berikut.

1. Pengukuran produktivitas (productivity), yaitu derajat di mana suatu studi menunjukkan indikator yang tepat yang berhubungan dengan variabel.
2. Predictive validity, yaitu derajat kemampuan pengukuran dengan peristiwa yang akan datang.
3. Construct validity, yaitu derajat kesesuaian teori dan konsep yang dipakai dengan alat pengukuran yang dipakai dalam penelitian tersebut.

ANALISIS ISI KUALITATIF

Analisis Wacana
Analisis wacana adalah analisis isi yang lebih bersifat kualitatif dan dapat menjadi salah satu alternatif untuk melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi kuantitatif yang selama ini banyak digunakan oleh para peneliti. Jika pada analisis kuantitatif, pertanyaan lebih ditekankan untuk menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks komunikasi, pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada “bagaimana” (how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu disampaikan.
Beberapa perbedaan mendasar antara analisis wacana dengan analisis isi yang bersifat kuantitatif adalah sebagai berikut.
Analisis wacana lebih bersifat kualitatif daripada yang umum dilakukan dalam analisis isi kuantitatif karena analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit kategori, seperti dalam analisis isi. Analisis isi kuantitatif digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis wacana justru memfokuskan pada pesan yang bersifat latent (tersembunyi).Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what), tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana ia dikatakan (how).Analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi, sedangkan analisis isi kuantitatif memang diarahkan untuk membuat generalisasi.

Model analisis wacana yang diperkenalkan oleh van Dijk sering kali disebut sebagai “kognisi sosial”, yaitu suatu pendekatan yang diadopsi dari bidang psikologi sosial. Menurut van Dijk, ada 3 dimensi yang membentuk suatu wacana sehingga analisis yang dilakukan terhadap suatu wacana harus meliputi ketiga dimensi tersebut, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Analisis Semiotik (Semiotic Analysis)

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek, dan sebagainya. Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.

Analisis Framing

Analisis Framing adalah bagian dari analisis isi yang melakukan penilaian tentang wacana persaingan antarkelompok yang muncul atau tampak di media. Dikenal konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu metafora, perumpamaan atau pengandaian.

Sumber: https://andreyuris.wordpress.com

Tentang hebatnya mengaji

Tentang hebatnya mengaji Ilmu Agama laksana air hujan menembus bumi, orang alim yang mengamalkan ilmunya laksana bumi yang subur. Orang yang...