1.
Pendidikan Islam Pada Masa Awal
Kemerdekaan Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, terutama
setelah berdirinya Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini
juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan pada madrasah. Departemen
agama dengan segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan
pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi
pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru
agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun
1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan
Kairo yang di zaman Belanda memimpin Sekolah Normal Islam diPadang, menyusun
rencana pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6
tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus
juga menyarankan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang
disetujui oleh konferensi pendidikan se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10 Maret
1947.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pesantren Pada Masa Kemerdekaan
Sejak masa kebangkitan Nasional
sampai dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, pesantren senantiasa
tampil dan telah mampu berpartisipasi secara aktif. Oleh karena itulah setelah
kemerdekaan pesantren masih mendapatkan tempat dihati masyarakat. Ki Hajar
Dewantara saja selaku tokoh pendidikan Nasional dan menteri Pendididkan
Pengajaran Indonesia yang pertama menyatakan bahwa pondok pesantren merupakan
dasar pendidikan nasional, karena sesuai dan selaras dengan jiwa dan kepribadian
Bangsa Indonesia.[1]
Begitu pula halnya dengan Pemerintah
RI, mengakui bahwa pesantren dan madrasah merupakan dasar pendidikan dan sumber
pendidikan nasional, dan oleh karena itu harus dikembangkan, diberi bimbingan
dan bantuan. Pada era kemerdekaan dan pembangunan sekarang, pesantren telah
mampu menampilkan dirinya aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Berbagai inovasi telah dilakukan
untuk pengembangan pesantren. Misalnya memasukan pengetahuan umum dan
keterampilan ke dalam dunia pesantren sebagai upaya memberikan bekal tambhan
agar para santri bila telah menyelesaikan pendidikannya dapat hidup layak dalam
masyarakat.
Dalam upaya merenovasi terhadap
sistem yang selama ini dipergunakan, pondok pesantren mulai akrab dengan
metodologi ilmiah modern, den semakin berorientasi pada pendidikan dan
fungsional, artinya terbuka atas perkembangan di luar dirinya. Juga
diversifikasi program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya pun
absolute dengan kiai, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai
pengetahuan di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di
lapangan kerja dan juga dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.[2]
Dalam rangka menjaga kelangsungan
hidup pesantren, pemerintah berusaha untuk membantu mengembangkan pesantren
dengan potensi yang dimilinya. Arah perkembangan itu dititik beratkan pada,
pertama, peningkatan tujuan institusional pondok pesantren dalam kerangka
pendidikan nasional dan pengembangan potensinya sebagai lembaga social
pedesaan. Kedua, peningkatan kurikulum dengan metode pendidikan agar efisiensi
dan efektifitas pesantren terarah.
Ketiga, menggalakkan pendidikan
keterampilan di lingkungan pesantren untuk mengembangkan potensi pesantren
dalam bidang prasarana social dan taraf hidup masyarakat, dan yang terakhir,
menyempurnakan bentuk pesantren dengan madrasah menurut keputusan tiga menteri
tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.
Akhir-akhir ini pesantren mempunyai
kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya ditujukan untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan pendidikan yang ada, sebagaimana telah dikemukaakan terdahulu.
Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia sepertinya cukup mewarnai
perjalanan sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kendatipun demikian pesantren
dengan berbagai kelebihannya, juga tentunya tidak akan dapat menghindar dari
segala kritik dan kekurangannya.
3.
Madrasah
Pada Masa Awal Kemederdekaan
Perkembangan madarasah pada orde
lama-sejak awal kemerdekaan-sangat terkait dengan peran Departemen Agama, yang
mulai resmi berdiri pada 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif
memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Orientasi usaha Departemen
Agama dalam bidang pendidikan Islam bertumpu pada aspirasi umat Islam agar
pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah, di samping pada pengembangan
madrasah itu sendiri. Dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian
pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: 1) memberi pengajaran agama
di sekolah negeri dan partikulir, 2) memberi pengetahuan umum di madrasah dan
3) mengadakan pendidikan guru agama (PGA) dan Pendidikan Hkim Islam Negeri
(PHIN).[3]
Setidaknya terdapat dua usaha pokok
yang muncul dalam perkembangan madarasah di Orde Lama, yaitu pertama berdiri dan berkembangnya
Pendidikan Guru Agama dan Pendidikan Hakim, kedua terciptanya variasi
kurikulum antar berbagai organisasi sosial keagamaan. yang pertama dapat
dilihat dari pengaruh yang dtimbulkan oleh kedua madrasah (PGA dan PHIN), bahwa
kedua madrasah ini amat menandai perkembangan yang sangat strategis, di mana
madarah di samping bertujujan melahirkan tenaga-tenaga profesional keagamaan,
juga mempersiapkan tenaga yang siap pakai untuk mengembangkan madrasah.
Pada dekade 60-an, madarasah sudah
tersebar di berbagai wilayah Indonesia dengan jumlah madrasah tingkat
ibtidaiyah berjumlah 13057 buah. Dengan jumlah ini, sedikitnya 1.927.777 siswa
telah terserap untuk mengenyam pendidikan agama. Adapun madrasah pada tingkat tsanawiyah dan tingkat aliyah
masing-masing telah mencapai 776 buah
dan 16 buah, dengan jumlah siswa masing-masing sebanyak 87.932 orang dan 1881
orang. Dari laporan ini, jumlah keseluruhan madrasah telah mencapai 13.849 buah
dengan jumlah keseluruhan siswa sebanyak 2.017.590 orang.[4] Dari perkembangan ini
dapatlah dikatakan bahwa sudah sejak awal, pendidikan madrasah memberikan
kontribusi yang siginifikan dalam proses pencerdasan dan pembinaan akhlak
bangsa.
Kurikulum merupakan entitas inheren
dalam sebuah institusi madrasah. Dalam perkembangannya, bahwa mengingat kondisi
perpolitikan bangsa yang tengah mengalami kerja besar mengkonsolidasikan
kekuatannya membangun bangsa, mengakibatkan pengaturan sistem pendidikan madrasah
lebih dititikberatkan kepada penyerahan otoritas sepenihnya kepada Departemen
agama. Akibatnya, dalam upaya pengembangan madrasah pada umumnya, versi
kurikulum antar berbagai organisasi sosial keagamaan tidak dapat terelakkan.
Walaupun belakangan, muncul ide untuk menyeragamkan kurikulum di semua level
pendidikan madrasah.
Dalam perkembangan madrasah muncul
tarik menarik yang kuat antara kelompok Islam dan non-muslim tentang sejauh
mana lingkup pendidikan Islam. Bagi kalangan Islam, lebih cenderung mengatakan
bahwa pendidikan Islam harus dikembangkan di Indonesia sejauh mungkin.
Sementara kalangan non-muslim berpendapat bahwa pendidikan Islam harus dibatasi
hanya dalam lingkup yang pengajaran keagamaan. Akhirnya, dari polemik ini
lahirlah sebuah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BPKINP) yang mengatakan:
“madrasah dan pesantren pada
hakekatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata
dan sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah
mendapat perhatian dan bantuan yang nyata berupa bantuan materil dari
pemerintah.[5]
Rekomendasi di atas kemudian
dipertegas lagi oleh Menteri P dan K yang saat itu dijabat oleh R. Suwandi (2
Oktober 1946-27 Juni 1947) yang mengeluarkan kebijaksanaan yang menyatakan
bahwa pengajaran yang bersifat pondok pesantren dan madrasah perlu untuk
dipertinggi dan dimodernisasikan serta diberi bantuan biaya dan lain-lain.[6]
Dalam rangka memperkukuh eksistensi
madrasah sebagai komponen pendidikan nasional, artinya diakui sebagai
penyelenggara belajar, maka keluarlah Undang-Undang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran No. 4 Tahun 1950. Pada pasal 10 ayat (2) dinyatakan bahwa belajar di
sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap
telah memenuhi kewajiban belajar. Untuk itu pemerintah menggariskan
kebijaksanaan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk
menyelenggarakan kewajiban belajar harus terdaftar pada kementrian agama,
dengan syarat madrasah yang bersangkutan harus memberikan pelajaran agama
sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit 6 jam seminggi, secara teratur di
samping mata pelajaran umum.[7]
Selanjutnya dalam rangka
meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah mendapat
bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementrian agama
mengeluarga Peraturan Menteri Agama No. I Tahun 1952. Menurut ketentuan ini,
yang dinamakan madrasah adalah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai
sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok
pengajarannya”.
Berdasarkan ketentuan di atas,
jenjang pendidikan pada madrasah tersusun sebagai berikut:
a.
Madrasah rendah atau dikenal dengan
madrasah Ibtidaiyah, yaitu madrasah yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan
agama Islam menjadi pokok pengajarannya, lama pendidikannya adalah 6 tahun.
b.
Madrasah Lanjutang Tingkat Pertama
atau dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah yaitu madrasah yang menerima
murid-murid tamatan madrasah rendah atau sederajat serta memberikan pendidikan
dalam ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok, lama pendidikannya adalah 3
tahun.
c.
Madrasah Lanjutan Atas atau dikenal
sebagai Madrasah Aliyah yaitu madrasah yang menerima murid-murid tamatan
madrasah lanjutan pertama atau sederajat, memberik pendidikan ilmu pengetahuan
agama Islam sebagai pokok, lama belajarnya adalah 3 tahun.[8]
Pada tahun 1954, madrasah-madrasah
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dan telah terdaftar di kementrian
agama berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah, baik berupa dana, fasilitas
maupun tenaga skill. Pada tahun 1958, Departemen Agama, dalam rangka
melaksanakan program pengembangan madrasah sebagai pelaksaan kewajiban belajar,
memperkenalkan Madrasah Wajib Belajar (MWB). Madrasah Wajib Belajar dimaksudkan
sebagai awal untuk membeikan bantukan dan pembinaan madrasah dalam rangka
penyeragaman materi kurikulum dan sistem penyelenggaraannya dengan madrasah
Ibtidaiyah yang diselenggarakan oleh masyarakat.
4.
Sekolah Umum
Pada Masa Awal Kemerdekaaan
Setelah Indonesia Merdeka, usaha
yang pertama kali muncul agar penyelenggaraan pendidikan agama di Indonesia
mendapat perhatian serius dari pemerintah adalah melalui rapat BPKNIP pada
tanggal 27 Desember 1945. Rapat itu membicarakan tentang garis besar pendidikan nasional.
Hasil pembicaraan tersebut membentuk komisi khusus untuk merumuskan lebih
terperinci mengenai garis besar pendidikan di Indonesia. Dalam laporan yang
disusun oleh BPKNIP diusulkan beberapa rekomendasi berkaitan dengan pelajaran
agama di semua sekolah, yaitu:
a.
Pelajaran agama dalam semua sekolah
diberikan pada jam pelajaran sekolah.
b.
Para guru agama dibayar oleh
pemerintah.
c.
Pada sekolah dasar, pendidikan ini
diberikan mulai kelas IV.
d.
Pendidikan tersebut diselenggarakan
seminggu sekali pada jam tertentu.
e.
Para guru diangkat oleh Departemen
Agama.
f.
Para guru agama diharuskan juga
cakap dalam pendidikan umum.
g.
Pemerintah menyediakan buku
pendidikan agama.
h.
Diadakan pelatihan bagi guru agama.
i.
Kualitas pesantren dan Madrasah
harus diperbaiki.
j.
Pengajaran bahasa Arab tidak
dibutuhkan.[9]
Perkembangan selanjutnya dapat
ditelusuri kepada keputusan Menteri P & K dan Menteri Agama pada tanggal 2
Desember 1946 yang menentukan adanya pelajaran agama di sekolah rakyat dimulai
dari kelas IV dan berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1947. Dengan demikian,
tanggal 1 Januari 1947 merupakan tonggal dimulainya pengajaran pendidikan agama
di sekolah negeri.[10]
Setelah sekian tahun, pelajaran
agama diselenggarakan di sekolah-sekolah umum, pada tahun 1950 diundangkan pula pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri
yang mentakan bahwa:
a.
Di sekolah-sekolah negeri diadakan
pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti
pelajaran tersebut atau tidak.
b.
Cara penyelenggaraan pendidikan
agama diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri P & K.[11]
Lebih lanjut, peraturan Menteri P
& K juga mengetur bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah
Rakyat selama 2 jam perminggu. Sementara itu, khusus di lingkungan di mana
Islam kuat, pendidikan agama mulai diajarkan di kelas I dan jam pelajaran
ditambah 4 jam perminggu. Di Sekolah Menengah Pertama, pelajaran agama
diberikan 2 jam perminggu, sesuai agama para murid. Untuk mata pelajaran ini,
harus hadir sekurang-sekurang 10 orang murid untuk agama tertentu. Selama
berlangsungnya pelajaran agama, murida yang beragama lain boleh meninggalkan ruang
belajar. Sedangkan kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan Menteri Agama,
dengan persetujuan Menteri P & K.[12]
Peraturan demikian berlaku sampai
ditetapkannya hasil sidang MPRS tahun 1960. Dalam bab II pasal (3) Tap MPRS
Tahun 1960 dinyatakan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah dasar sampai universitas, dengan
pengertian bahwa murid berhak tidak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali
murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya.[13] Peraturan ini
berlaku sampai ditetapkannya peraturan baru yang termaktub dalam Tap MPRS Tahun
1966.
Bila dicermati dari peraturan yang
berlaku tentang pendidikan agama di sekolah umum pada fase ini (1946-1965)
terlihat bahwa pendidikan agama di sekolah umum belum memegang peran penting.
Hal demikian dapat ditandai bahwa dalam fase ini pengajaran agama tidak
mempengaruhi kenaikan kelas, diberikan kebebasan untuk mengikuti atau tidak
mengikuti pelajaran agama, dan yang paling mendasar adalah adanya pembatasan
pengajaran agama di Sekolah Rakyat boleh diajarkan setelah kelas IV, psadahal
pelajaran agama di sekolah sangat penting diajarkan sejak kelas I SR.
5.
Perguruan Tinggi Pada Awal
Kemerdekaan
Berkenaan dengan perguruan tinggi
Islam, kaum muslimin di Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya.
Mahmud Yunus membuka Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945 di Padang,
yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus
terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian
Agama pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tangal 26 September 1951
secara resmi dbuka perguruan Tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di
Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama ADIA). Akademi ini dimaksudkan
sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan dan
untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.
IAIN bertambah pesat dan melahirkan
cabang-cabangnya di berbagai wilayah ditambah dengan tumbuhnya perguruan tinggi
swasta, diantaranya UNJ, UM, UNISBA, UNISMA. Pendidikan Islam mengalami
kemajuan dalam mengiringi modernitas. Terakhir pada tahun 2002, IAIN Syarif
Hidayatullah berubah menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah
yang di dalamnya menyelenggarakan pendidikan selain fakultas-fakultas Agama
juga membuka ptogram pasca sarjana.
Terimakasih ilmunya :)
BalasHapusMateri makalahnya Perfect (y)