A. Pengertian
Peserta Didik
Peserta didik merupakan komponen
terpenting dalam pendidikan islam. Dalam perspektif islam, peserta didik
merupakan subjek dan objek. Dilihat dari segi kedudukannya, anak didik adalah
makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut
fitrahnya masing-masing, yaitu memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Dalam bahasa Arab dikenal tiga
istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan kepada anak didik. Tiga istilah
tersebut adalah murid yang secara harfiah berarti orang yang membutuhkan
sesuatu, tilmidz yang berarti murid, dan tholib al-ilmiyang
menuntut ilmu, pelajar atau mahasiswa. Ketiga istilah tersebut seluruhnya
mengacu pada seorang yang tengah menempuh pendidikan.
Berdasarkan pengertian di atas, maka
anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan
atau ilmu, bimbingan, dan pengarahan. Dalam pandangan islam, hakikat ilmu
berasal dari Alloh. Sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar
kepada Guru[1].
Menurut Hasan Fahmi, di antara tugas
dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah;[2]
- Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu. Hal ini disebabkan karena belajar adalah ibadah dan tidak syah ibadah kecuali dengan hati yang bersih.
- Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan. Yaitu sebagai manusia individual dan sosial serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepadaNya.
- Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat.
- Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
- Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
- Menghargai ilmu dan bertekad untuk terus menuntut ilmu sampai akhir hayat.
Kesemua hal di atas cukup penting
untuk disadari oleh setiap peserta didik, sekaligus dijadikan sebagai pegangan
dalam menuntut ilmu. Di samping berbagai pendekatan tersebut, peserta didik
hendaknya memiliki kesiapan dan kesediaan untuk belajar dengan tekun, baik
secara fisik maupun mental. Dengan kesiapan dan kesediaan fisik dan psikis,
maka aktivitas kependidikan yang diikuti akan terlaksana secara efektif dan
efisien.
B. Potensi/Fitrah Peserta Didik
Manusia
merupakan makhluk Allah yang paling mulia dan sempurna (melebihi malaikat)
apabila dapat memerankan tugas kekhalifahannya. Namun jika manusia tidak dapat
bertanggung jawab sebagai khalifah Allah dengan baik dan benar, maka kedudukan
manusia lebih rendah dari binatang.
Karena itu,
agar dapat menjalankan fungsi kekhalifahanya dimuka bumi, manusia di karuniai
beberapa kekuatan yang dapat menimbulkan kreativitas untuk menata alam melalui
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Untuk itu, Tuhan
menganugerahkan kepada manusia potensi-potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan melalui proses pendidikan.
Manusia
diciptakan Allah bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Hal ini tergambar dalam
dialog Allah dan malaikat diawal penciptaannya. Tujuan penciptaan Adam sebagai
nenek moyang manusia adalah sebagai khalifah. Dalam kedudukan ini, manusia
tidak mungkin mampu melaksanakan tugas kekhalifahannya, tanpa dibelakangi
dengan potensi yang memungkinkan dirinya mengemban tugas tersebut.
Muhammad Bin
Asyur sebagamana disitir M. Quraish Shihab mendefinisikan fitrah manusia kepada
pengertian “fitrah (makhluk) adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah
pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa
yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan
akalnya”. Dari pengertian tersebut dapat diartiakan bahwa fitrah merupakan
potensi yang diberikan Allah kepada manusia sehingga manusia mampu melaksanakan
amanat yang diberiakan Allah kepadanya yang meliputi potensi seluruh dimensi
manusia.
Sabda Nabi
Muhammad SAW yang artinya “setiap anak manusia itu terlahir dalam fitrahnya,
kedua orang tuanyalah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya
seorang yahudi, nasrani, atau majusi” (HR Aswad Bin Sari).
Dari makna
hadis diatas memberikan pengertian secara teoritis bahwa semakin baik
penempatan fitrah yang dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah
kepribadiannya. Demikian pula sebaliknya, semakin buruk penempatan fitrah
seseorang maka akan semakin buruk sifat dan tingkah lakunya.
Dalam
perspektif Islam, potensi atau fitrah dapat dipahami sebagai kemampuan atau
hidayah yang bersifat umum dan khusus yaitu :
1. Hidayah wujdaniyah
yaitu potensi manusia yang berwujud insting atau naluri yang melekat dan
langsung berfungsi pada saat manusia dilahirkan di muka bumi.
2. Hidayah hisysyiyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia
dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurnaan hidayah wujudiyah.
3. Hidayah aqliah yaitu potensi akal sebagai penyempurnaan dari
kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini mampu berpikir dan berkreasi
menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan
kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.
4. Hidayah diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada
manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan
aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur’an dan Sunnah.
5. Hidayah taufiqiyah yaitu hidayah yang sifatnya khusus. Sekalipun
agama telah diturunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang
tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu, agama menuntut agar
manusia senantiasa berupaya memperoleh dan diberi petunjuk yang lurus berupa
hidayah dan taufiq guna selalu berada dalam keridhaan Allah.
C. Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Dalam
pandangan pendidikan Islam, untuk mengetahui hakikat peserta didik, tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan pembahasan tentang hakikat manusia, karena
manusia hasil dari suatu proses pendidikan.[3]
Menurut konsep ajaran Islam manusia pada hakikatnya, adalah makhluk ciptaan
Allah yang secara biologis diciptakan melalui proses pertumbuhan dan
perkembangan yang berlangsung secara evolutif,
yaitu melalui proses yang bertahap.
Sebagai
makhluk ciptaan, manusia memiliki bentuk yang lebih baik, lebih indah dan lebih
sempurna dibandingkan makhluk lain ciptaan Allah, hingga manusia dinilai
sebagai makhluk lebih mulia, sisi lain manusia merupakan makhluk yang mampu
mendidik, dapat dididik, karena manusia dianugerahi sejumlah potensi yang dapat
dikembangkan. Itulah antara lain gambaran tentang pandangan Islam mengenai
hakikat manusia, yang dijadikan acuan pandangan mengenai hakikat peserta didik
dalam pendidikan Islam.
Peserta didik
dalam pendidikan Islam harus memperoleh perlakuan yang selaras dengan hakikat
yang disandangnya sebagai makhluk Allah. Dengan demikian, sistem pendidikan
Islam peserta didik tidak hanya sebatas pada obyek pendidikan, melainkan pula
sekaligus sebagai subyek pendidikan.[4]
Dalam
perspektif falsafah pendidikan Islam, semua makhluk pada dasarnya adalah
peserta didik. Sebab, dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib,
Allah Swt pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Karenanya, dalam perspektif falsafah pendidikan Islam, peserta didik itu
mencakup seluruh makhluk Allah Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan,
hewan, dan sebagainya.
Dalam arti
khusus dalam perspektif falsafah pendidikan Islami peserta didik adalah seluruh
al-insan, al-basyar, atau bany adam yang sedang berada dalam
proses perkembangan menuju kepada kesempurnaan atau suatu kondisi yang
dipandang sempurna (al-Insan al-Kamil).
Terma al-Insan, al-basyar, atau bany adam dalam defenisi ini memberi
makna bahwa kedirian peserta didik itu tersusun dari unsur-unsur jasmani,
ruhani, dan memiliki kesamaan universal, yakni sebagai makhluk yang diturunkan
atau dikembangbiakan dari Adam a.s. kemudian, terma perkembangan dalam
pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian peserta didik, baik
dari fisik (jismiyah) maupun diri
psikhis (ruhiyah) – aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan
fungsi-fungsinya secara sempurna, yaitu suatu keadaan dimana dimensi jismiyah
dan ruhiyah peserta didik, melalui proses
ta-lim, tarbiyah, atau ta’dib,
diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencapai tingkatan terbaik
dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al-ruhiyah).
Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Al-Rasyidin yang dikuti oleh Zainuddin et.al dalam bukunya
Filsafat Pendidikan Islam, setidaknya ada 3 istilah peserta didik yang dapat
dirangkum dalam esensi filsafat pendidikan Islam, yaitu;
1. Mutarabbi, artinya
manusia yang selalu memerlukan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan
pemeliharaan fisik – biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan,
tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan demikian, mutarabbi mampu melaksanakan fungsi dan
tugas penciptaan Allah Swt. Tuhan maha pencipta, pemelihara dan pendidik bagi
alam semesta.
2. Muta’allim, artinya peserta
didik mempelajari semua al-asma’kullah
yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah
maupun quraniyah dalam rangka
pencapaian pengenalan, peneguhan dan aktualisasi syahadah primordial yang telah
pernah ia ikrarkan di hadapan Allah Swt. Kemampuan peserta didik merealisasikan
terhadap apa yang pernah ia nyatakan ini merupakan essensi dari peserta didik
itu sendiri dalam filsafat pendidikan Islam.
3. Muta’addib, merupakan
proses pendisiplinan adab ke dalam jism,
dan ruhnya, sehingga akal, ruh dan hatinya pendisiplinan adab melalui mua’dib
(pendidik). Esensinya dalam mutaadib
dalam pendisiplinan adab adalah ahklak, yaitu syariat yang menata hubungan
komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, sesamanya dan mahkluk Allah
lainnya termasuk dalam semesta ini serta juga kepada sang pencipta dan
pemelihara serta pendidik alam semesta.
D.
Manusia Sebagai
Hamba Allah dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam.
Bagi filsafat pendidikan penentuan
sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital.
Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa
tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa hampa. Bahkan
pendidikan itu sendiri dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha
yang dicurahkan untuk menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam
memupuk bakat dan dan mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan
masyarakat
Dalam konteks konsep hamba Allah,
manusia harus menyadari betul akan dirinya sebagai abdi. Hal ini berati bahwa
manusia harus menempatkan dirinya sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada
semua ketentuan pemiliknya, yaitu Allah SWT. Hal ini di dasarkan pada petunjuk
ayat yang artinya “tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka
menyembah atau ibadah kepadaKu”(Qur’an surat al dzariat:51:56)[5].
Pengertian ibadah dalam ayat ini menurut Langgulung adalah merupakan
pengembangan kefitrahan itu setinggi-tingginya, yang oleh aliran kemanusiaan
disebut perwujudan diri(self actualization).
Musa As‘ari mengatakan bahwa esensi
‘abd adalah ketaatan, ketundukan, kepatuhan, yang semuanya itu hanya
layak diberikan pada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamnya yang
senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadikan
kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian darin ciptaannya, ia bergantung
pada sesamanya, hidup dan mati menjadi bagian yang pasti. Akan tetapi manusia
tidak terikat sepenuhnya oleh hukum-hukum alamnya saja. Karena sebagai makhluk
yang dilebihkan dari pada ciptaan Tuhan lainnya. Manusia diberikan kemampuan
akalnya sehingga mampu mengolah potensi alam menjadi sesuatu yang baru yang
diperlukan bagi kehidupannya. Dalam perkembangannya manusia pun terikat oleh
hukum-hukum berfikir dalam upaya engembangkan untuk menentukan pilihan dan
bebas untuk menggunakan akalnya. Sedangkan ‘abd adalah seorang yang
telah kehilangan wewenang untuk menetukan pilihan dan kehilangan kebebasan
untuk berbuat. Esensi seorang kholifah adalah kebebasan dan kreatifitas,
sedangkan seorang ‘abd adalah ketaatan dan kepatuhan.
Dengan demikian kedudukan manusia
dialam raya ini disamping sebagai kholifah yang memiliki kekuasaan untuk
mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya juga
sekaligus sebagai ‘abd yaitu seluruh usaha dan aktifitasnya itu harus
dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk dapat melaksanakan
fungsi kekholifahan dan ibadah dengan baik ini manusia perlu diberikan
pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, teknologi, dan sarana
pendukung lainnya. Ini menunjukka bahwa konsep kekholifahan dan ibadah dalam al
qur’an erat kaitannya dengan pendidikan. Manusia yang dapat melaksanakan
fungsi-fungsi yang demikian itulah yang diharapkan muncul dari kegiatan usaha
pendidikan.[6]
Hasan Langgulung mengatakan bahwa
manusia dianggap sebagai kholifah Allah tidak dapat memegang tanggung jawab
sebagai kholifah kecuali kalau ia perlengkapi dengan potensi-potensi yang
membolehkannya berbuat demikian. Lebih lanjut Langgulung mengatakan bahwa al
qur’an menyatakan beberapa ciri yang dimiliki manusia untuk mampu melaksanakan
fungsi kekholifahannya.[7]
Al-Qur’an tidak memandang manusia
sebagai makhluk yang tercipta secara kebetulan, atau tercipa dari kumpulan
atom, tapi ia diciptakan setelah sebelumnya direncanakan untuk mengemban satu
tugas sebagai khalifah di muka bumi ini, sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di bumi (QS. 2 :30). Ia dibekali Tuhan dengan potensi dan
kekuatan positif untuk mengubah corak kehidupan di dunia ke arah yang lebih
baik. M. Quraisy Shihab menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup
dua pengertian.[8]
1.
orang yang di beri kekuasaan untuk
mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2.
khalifah memilki potensi untuk
mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.
Beranjak dari
pemahaman bahwa ada dua unsur sehungan dengan makna khalifah yakni unsure
intern (mengarah pada hubungan horizontal) yang berkaitan dengan manusia, alam
raya dan antar manusia dengan alam raya. Dan unsur ekstern (kaitannya dengan
hubungan vertical) yaitu penugasan Allah kepada manusia sebagai mandataris
Allah dan pada hakekatmnya eksistensi manusia dalam kehidupan ini adalah
membangun dan mengelola dunia tempat hidupnya ini sesuai dengan kehendak
penciptanya. Tugas kekhalifahan tersebut meang sangat berat. Namun status ini
menunjukkan arah peran manusia sebagai penguasa di bumi atas petunjuk Allah.
Selain itu, dari tugas tersebut menggambarkan bahwa akan kedudukan manusia
selaku makhluk ciptaanNya yang paling mulia.
[3] Abdurrahman Shaleh, Ilmu
Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya., 1990) h 45.
[4] Anas Abdul
Malik al-Quz, Ibnu Qayyim Berbicara tentang Manusia dan Semesta, Pustaka
Azzam: Jakarta, (2001), Hal: 21
[6]Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005, hlm.88
[7]Prof.Dr.H.Abuddin Nata,MA, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2005, hlm.89
[8] Dr. M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur’an,”Fungsi
Dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat”, (Bandung, Mizan, Cet. XXV,
2003), hal. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar