Biografi Syeikh Mustafa Al-galayaini dan Sosio-Kulturnya
Nama lengkap Syeikh Mustafa Al-galayaini adalah Mushthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayaini. Dalam kitab “Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushanafi al-Kutub al-Arabiyyah” yang ditulis oleh Umar Ridha Kahalah, ia mengungkapkan bahwa Mustafa Al-galayaini dilahirkan pada tahun 1303 Hijriyah atau bertepatan pada tahun 1808 Masehi. Walaupun demikian, dengan dikaruniai umur sekitar 59 tahun ternyata telah banyak sekali predikat atau gelar yang beliau sandang diantaranya selain dikenal sebagai ulama yang berpandangan modern dan berkaliber internasional beliau adalah seorang sastrawan, penulis, penyair, urator, linguis, politikus, kolomnis maupun wartawan (Kahalah,1993: 881).
Al-Ghalayaini lahir dikota Beirut, ibukota negara Libanon. Dimasa pertumbuhannya al-Ghalayaini ketika masih kecil sudah menunjukkan kecerdasan intelektual melebihi teman-temanya. Dan ia mendapatkan pendidikan dasar dari guru atau syeikh terkenal pada saat itu, diantaranya adalah Muyiddin al-Khayyath, Abdul Basith al-Fakhuri, Shalih al-Rofi‟ie dan lainnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, beliau kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di mesir, tepatnya di Universitas Al-Azhar Kairo, disana beliau berguru kepada seorang yang di dunia islam dikenal sebagai pembaru pemikiran islam, yakni Muhammad Abduh (kahalah, 1993: 881).
Pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap Syeikh Mustafa Al-galayaini dalam kitab Izat An-Nasyiin terlihat gaya penulisan dalam isi kitab ini. Kontribusi pembaharuan pemikiran Muhammad Abduh yang bersifat rasional sangat kentara dalam kitab ini.Hal tersebut sangat kentara dalam pembahasan tentang pembaharuan, kemerdekaan, rakyat dan pemerintah, yang menekankan pada kebebasan berpikir, berpendapat, dan bernegara.Pemikiran Muhammad Abduh yang juga sangat jelas mempengaruhi pemikiran Syeikh Mustafa Al-galayaini dalam hal ini dijelaskan pentingnya seseorang memiliki sifat tawakkal. Dalam konteks ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa terdapat dua ketentuan yang sangat mendasari perbuatan manusia, yaitu: pertama, manusia melakukan perbuatan dengan gaya kemampuannya. Kedua, kekuasaan Allah adalah tempat kembali semua yang terjadi (Sucipto, 2003: 152)
Disamping itu, Muhammad Abduh juga mempengaruhi pemikiran Syeikh Mushthafa al-Ghalayani dalam hal gagasan dan gerakan pembaharuannya yang menampakkan modernis puritanis. Muhammad Abduh adalah sorang reformis yang toleran, liberal dan kaya akan gagasan modern. Tapi disatu sisi, Muhammad abduh dilihat sebagai seorang alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (Sucipto,2003: 153).
Kemudian setelah menamatkan pendidikan di Universitas al-Azhar Kairo, beliau kembali lagi ke Beirut dan aktivitasnya tiada lain adalah mengamalkan seluruh ilmu yang telah didapatkan di Kairo tersebut. Beliau aktif mengajar di beberapa Universitas, diantaranya adalah Universitas Umari, Maktab Sulthani, Sekolah Tinggi Usmani, dan Sekolah Tinggi Syari‟ah lainnya (al-Ghalayaini, 2002: 4).
Selain aktif sebagai pengajar beliau juga sangat berminat menggeluti dunia penerbitan. Beliau menerbitkan majalah Nibrasy di Beirut dan berpartisi aktif dalam dunia perpartaian, yakni dengan bergabungnya beliau kepada kelompok Hizb al Ittihad al-Taraqqi (Pertai Persatuan Pembangunan). Tapi, tidak berapa kemudian beliau mengundurkan diri dari keterlibatnya di partai tersebut dan bergabung dengan Hizb al-I‟tilaf (Partai koalisi). Sama seperti di partai sebelumnya, atas ketidak sepahaman pendapat dengan golongan elit terpelajar yang bergabung dengan partai itu, beliau lagi-lagi mengulangi keputusannya untuk menarik diri.Menurutnya kejelekan mereka adalah terlalu mengabdikan diri kepada pemimpin keagamaan tradisional yang cenderung sektarian dan non-egaliter. Partai-partai politik yang ada juga tidak dapat diterimanya karena mereka cenderung akomodatif hanya terhadap salah satu kelompok saja dan tidak aspiratif serta mau berjuang dan membela masyarakat umum. Hal inilah yang mendorong Syeikh Mustafa Al-galayainibeserta para intelektual lainya dengan gagasan, visi dan misi yang sama terketuk untuk membentuk partai baru yang disebut dengan Hizb-al-Islah (Partai Reformasi), Maka sesuai namanya partai ini lebih beriontasi kepada perjalanan Islam yang bernuansa reformis dan modernis serta membela hak-hak orang yang tertindas dan mewujudkan masyarakat umum (Kahalah, 1993: 881).
Setelah sekian lama berkecimpung dalam percaturan partai politik, beliau kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi orator (ahli pidato) untuk mendampingi pasukan Ustmani IV pada perang dunia pertama. Beliau juga menyertainya dalam perjalanan dari damaskus menyebrangi gurun menuju Terusan Zues dari Arah Isma‟iliyah, dan ikut hadir di medan perang walaupun kemudian mengalami suatu kekalahan.
Beberapa peristiwa yang melingkupi perjalanan karir beliau, baik yang berkaitan dengan dunia politik dan perang telah memberikan pelajaran sangat berarti bagi diri al-Ghalayaini. Berdasarkan keinginan yang kuat untuk mengbdikan diri kepada dunia pendidikan, beliau lagi-lagi ke Beirut dan aktif sebagai tenaga pengajar. Di sela-sela kesibukannya sebagai tenaga edukatif, beliau mendapatkan kepercayaan dari pemerintah yang waktu itu negara berada di bawah pemerintahan raja Faisal untuk mengunjungi kota Damaskus, dan disana beliau diangkat sebagai pegawai di kantor administrasi keamanan publik sekaligus juga sebagai tenaga sukarela pada tentara arab.
Di tahun berikutnya kembali ke Beirut, lalu dengan tanpa alasan yang jelas beliau ditahan oleh pemerintah, tapi tidak lama kemudian beliau dibebaskan. Sebagai seorang yang suka berkelana dan menjelajah dari suatu kota ke kota lainya yang masih dalam lingkup tanah Arab, beliau kemudian pergi ke Jordania Timur disana diangkat sebagai pengasuh dua anak Amir Abdullah dan menetap dalam waktu yang tidak lama.
Perjalanan ke Jordania Timur membuatnya tidak betah berlama-lama di negeri orang, lalu kembali lagi ke Beirut. Tapi sesampainya di Beirut bukan malah mendapatkan suatu penyambutan yang meriah, melainkan suatu penahanan yang dilakukan oleh otoritas Prancis yang sudah lama berada di tanah Beirut untuk kemudian diasingkan ke Negara palestina dan selanjutnya menetap di daerah Haifa.
Setelah dibebaskan dari pengasingannya dan menghirup kembali alam bebas, beliau berniat kembali ke tanah kelahiranya, yaitu Beirut. Beliau ternyata masih mendapat kepercayaan dari rakyat untuk memangku beberapa jabatan sekaligus, di antaranya adalah beliau diangkat sebagai kepala Majelis Islam, hakim Syari‟ahserta penasehat pada Mahkamah Banding Syari‟ah Sunni sekaligus terpilih sebagai anggota dewan keilmuan Damaskus. Beliau wafat dibeirut pada tanggal 17 Februari 1945 tepat diusianya yang ke 59 tahun (Kahalah, 1993: 881).
Karya-Karyanya
Adapun karya-karya SyeikhMustafa Al-galayaini dalam bentuk buku sesuai dengan pengamatan Umar Ridla Kahalah yang dicantumkan dalam karyanya yang berjudul “Mu‟jam al-Muallafin Tarajum Mushannafi al-Kutub al-Arabiyyah”, melipurtiantara lain:
Idhatun Nasyi‟in
Al-Islam Ruh al-Madinah aw al-Din al-Islami
Jami‟ al-Durus al-Arabiyah,
Nadzratu fi Kitab al-Sufur wa al-Hijab al-Mansub li Nadzari Zain al-Din
Nadzaratu fi al-Lughah wa al-adab
Diwan Sy‟run
Menurut Heri Sucipto karangan Syeikh Mustafa Al-galayaini diantaranya:
Izhah al-Nasyi‟in, kitab ini berisikan nasehat-nasehatvatau arahan-arahan bagi kaum muda(remaja) agar mereka menjadi pribadi-pribadi yang tangguh menyongsong masa depan yang penuh tantangan.
b. Lubib al-Khiyar fi Sirah al-Nabi al-Mukhtar, kitab ini membahas tentang sejarah hidupnya Nabi Muhammad SAW.
c. Jami‟ al-Durus al-„Arobiyah, kitab ini membahas tentang berbagai macan permasalahan terkait tata Bahasa Arab yang diuraikan secara lengkap dan sistematis sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan.
d. Al-Tsurayya al-Madhiyah fi al-Dhurus al-„Arudhiyah, kitab ini membahas tentang kaidah-kaidah dalm mengubah syair
e. Uraij al-Zahr, kitab ini berisikan himpunan kata bijak, karya dia sendiri.
C. Corak Umum Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Menurut Pemikiran Syeikh Mustafa Al-galayaini
Pada sisi lain Syeikh Mustafa Al-galayaini dipengaruhi oleh al-Ghazali. Hal ini dapat dibutikkan bahwa kitab „Izat An-Nasyiinterdapat kutipan pemikiran al-Ghazali, misalnya penjelasan al-Ghalayaini tentang anak didik (al-Ghalayaini, 2000: 182).
Ciri khas yang paling menonjol dalam kitab „Izat An-Nasyiinkarya Syeikh Mustafa Al-galayaini ini yang disusun dengan gaya pidato dengan berbagai poin yang menjadi tema pokoknya sekaligus dilengkapi dangan solusi-solusi dan langkah-langkah ke depan yang lebih baik.
Untuk memahami pemikiran seorang cendekiawan secara objektif, kita harus memberikan perhatian pada situasi dan kondisi yang melingkupi realitas zamanya. Karena kondisi itulah yang mendorong seorang cendekiawan untuk mengartikulasi gagasan, pandangan, dan sikapnya. Kondisi itulah yang mendorong untuk menentukan metode yang dia tempuh untuk mengekspresikan segala ide-idenya. Bahkan, cendekiawan yang berhasil adalah mereka yang mampu menjadikan dirinya cermin atas realitas zamanya. Kemudian, dia juga berusaha menjadikan pemikirannya sebagai solusi efektif untuk memecahkan tantangan realitas yang semakin maju. Dia akan dianggap lebih berhasil, apabila dia sanggup mengubah sisi negatif bagi perjalanan kehidupan ke 40
depan, dan memanfaatkan perubahan yang ada demi kemaslahatan masyarakat (Mu‟thi, 2000: 84).
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa, beberapa faktor yang mewarnai pemikiran seseorang diantaranya, adalah pertama, kebutuhan masyarakatdan penguasa akan sistem ajaran tertentu. Kedua, ortodoksi yakni paham yang dianut oleh mayoritas kaum muslimin yang pembentukannya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan keduniawian. Ketiga, sumber ajaran islam, al-Qur‟an dan al-Hadits, yang tertuang dalam bahasa Arab yang dipakai oleh orang-orang Arab pada tempat dan waktu tertentu itu menimbulkan persoalan pemahaman bagi orang-orang yang masa hidupnya jauh dari masa hidup Nabi Muhammad SAW. Keempat, adanya kecerendungan manusia untuk bebas dari suatu pihak yang lain. Kelima, adanya pertentangan kepentingan. Demikian juga tingkat intelegensi, kecerendungan, latar belakang kependidikan, perkembangan ilmu pengetahuan, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi, dan lain-lainya memberikan warna terhadap paradigma pemikirannya(Maragustan, 2000: 43).
Pada bab di atas telah disinggung mengenai latar belakang kehidupan, perjalanan menempuh pendidikan, serta pergulatannya dengan dunia karir al-Ghalayaini, walaupun tidak begitu lengkap dan mendetail. Namun demikian, setidaknya dengan pemaparan di atas bisa menjadi sebuah patokan tersendiri untuk menelusuri sejauh mungkin paradigma berpikirnya al-Ghalayaini tentang konsep pendidikan 41
akhlaknya yang dituangkan dalam menulis kitab „Izat An-Nasyiin tersebut. Sebab karya tersebut boleh dibilang bukan sebuah karya utuh dan sistematis sebagai sebuah tulisan ilmiyah berbentuk buku sebagaiman karangan-karangan yang lain. Tulisan tersebut merupakan essai bebas yang dia tulis dari balik jeruji besi. Karena disilah beliau mengalami proses pencerahan diri yang sangat luar biasa berartinya, yakni pencerahan secara intelektual dan spiritual. Baginya penjara bukan merupakn tempat yang menakutkan yang bisa memasung kreatifitas berpikir dan menulis gagasan-gagasan aktual mengenai kondisi riil moralitas remaja Lebanon pada saat itu. Karena ketika kebebasan berbicara sudah dibungkam, maka tidak ada pilihan lain kecuali tulisan-tulisan kritislah yang harus di kemukakan kearah publik. Hal inilah yang dilakukan al-Ghalayaini menghadapi rezim yang otoriter.
Lebih jauh al-Ghalayaini dalam sejarah kehidupannya kaya akan pengalaman bergumul dengan gejolak sosial dan politik yang sudah mengarah pada kondisi anomie, kondisi masyarakat dimana agama, pemerintah dan moralitas telah memudar keefektifannya, akibat keakutan dan krisis Psiko-sosial yang terjadi. Al-Ghalayaini dengan getol melakukan refleksi kritis dengan menggagas lahirnya tata kehidupan yang normatif-etis. Dalam kondisi yang serba sulit itulah, tidak dapat dipungkiri akan kemungkinan terjadinya clash (benturan). Pemikiran dan kepentingan berbagai pihak baik dikalangan atas maupun kalangan masyarakat bawah. Ini berarti kondisi sosial-budaya yang dihadapi al-42
Ghalayaini tampak mirip dengan kondisi sekarang ini. Dengan demikian, kajian terhadap pemikiranya, terutama terkait dengan lingkup akhlak (moral) yang belum banyak disentuh, di satu sisi dinilai relevan-fungsional bagi upaya menyumbangkan penemuan solusi problem-problem kontemporer di atas, dan di sisi yang lain bagi upaya memperkaya khasanah pemikiran teoritik khusus akhlak (moral) dan pendidikan.
Al-Ghalayaini sangat apresiatif terhadap otonomi akal atau kebebasan dalam melontarkan sebuah gagasan. Menurutnya, fungsi akal dapat dipandang sebagai sumbu keutamaan dan sumber moral (akhlak).Akal dalam pandangan al-Ghalayaini tidak hanya sekedar mudrik (berfungsi mengatahui), melainkan juga sebagai hakam (pemutus/penentu baik, buruk). Jadi pendidikan yang dikehendakinya adalah yang mampu menyadarkan peserta didik akan realitas yang dihadapi dengan cara yang mengakibatkan mampu melakukan tindakan efetif terhadap relitas tersebut. Untuk merealisasikan ini, hal mendasar yang perlu digarap adalah dengan pendidikan akal.Sebab dengan akal manusia mampu memahami taklif Allah dan mengatur kehidupan dunia ini.
Dengan demikian, dalam pendidikan akhlak, al-Ghalayaini beriontasi pada pembentukan kesadaran dan kepekaan akhlak (Basyiroh Akhlaqiyah) seseorang, sehingga ia mampu membedakan antara perilaku yang baik dan buruk, melalui penajaman kritisisme (al-tahlil al-aqli wa 43
tanmiyat al-aql) (al-Ghalayaini, 1949: 182). Dengan berakhlak seperti ini hanya bisa terbentuk melalui penalaran dan kesediaan diri dalam memenuhi berbagai macam aturan dan putusan.
D. Sinopsis Kitab ‘Izat An-Nasyiin
Menjadi sebuah keniscayaan, seorang pengarang dengan yang lain memiliki karakter dan warna tersendiri. Perbedaan ini dipengaruhi latar belakan kehidupan, misalnya pendidikan, pengetahuan, pengalaman dalam berkarya dan kecenderungan pengarangnya.Background inilah yang kemudian memunculkan satu benuk karakteristik tersendiri dalam hasil karyanya.
KarakteristikMustafa Al-galayaini dalam kitab Idhatun Nasyi‟inkental dengan muatan keagamaan seperti: pendidikan, budi pekerti, dan sosial budaya. Untuk itukitab Idhatun Nasyi‟in karangan SyekhMustafa Al-galayaini dapat dikategotikan menjadi 3 hal:
1. Hal-hal yang berupa pengembaraan seseorang dalam menjalani proses kehidupan di mana kemudian akan menemukan sebuah bentuk jati diri yang sejati, tetapi hal tersebut harus ditunjang dengan sikap dan perilaku yang baik tentunya. Karena dengan menemukan bentuk jati dirinya iaakan berkembang menjadi kenal sesama maupun Tuhannya.
2. Hal-hal yang berbicara tentang perenungan seseorang untuk melalui berbuat baik terhadap sesamanya sebagai bentuk manifestasi dari
ajaran Islam. Kerena dengan menjadikan Islam sebagai ajaran agama maka keselamatan akan mudah diraih, baik didunia maupun diakhirat.
3. Mengenai sosial-politik. Wacana tentang sosial-politik utama di Libanon pada waktu itu nampaknya berjalan kurang harmonis. Hal ini terlihat oleh berbagai macam kepentingan antar kelompok sehingga memunculkan sebuah pemikiran adanya suatu masalah dalam pemerintah yang kontra konsep dan realitas.
Selanjutnya berkenaan dengan sinopsisi kitab tersebut, bahwa kitab ini secara keseluruhan berisi tentang ajaran moral dan menjalani proses kehidupan dengan nuansa pribadi yang penuh optimisme. Sehingga kemudian akan tercipta sebuah komunitas masyarakat yang benar-benar menjujung tinggi moral dan mencegah akan terjadinya dekadensi moral yang sudah demikian parah.
Adapun tema-tema yang tertuang dalam kitab tersebut terdiri dari empatpuluh empat tema, diantaranya sebagai berikut:
1. Berani maju kedepan
2. Sabar
3. Kemunafikan
4. Keikhlasan
5. Berputus asa
6. Harapan
7. Sifat licik atau penakut
45
8. Bertindak tanpa perhitungan
9. Keberanian
10. Kemashlahatan umum
11. Kemuliaan
12. Lengah dan waspada
13. Revulusi Budaya
14. Rakyat dan pemerintah
15. Tertipu oleh perasaan sendiri
16. Pembaharuan
17. Kemewahan
18. Agama
19. Peradaban
20. Nasionalisme
21. Kemerdekaan
22. Macam-macamnya kemerdekaan dan kebebasan
23. Kemauan
24. kepemimpinan
25. orang-orang yang ambisi menjadi pemimpin
26. Dusta dan sabar
27. kesederhanaan
28. Kedermawanan
29. Kebahagiaan
30. Melaksanakan kewajiban
46
31. Dapat dipercaya
32. Hasud dan dengki
33. Tolong menolong
34. Sanjungan dan Kritikan
35. Kefanatikan
36. Para pewaris bumi
37. Peristiwa pertama
38. Nantikankah saat kebinasaanya
39. Memperbagus pekerjaan dengan baik
40. Wanita
41. Berusahalah dan tawakallah
42. Percaya pada diri sendiri
43. Tarbiyah atau pendidikan
44. Nasehat terahir
Inilah gambaran singkat mengenai biografi dan perjalanan karir beserta paradigma berpikirnya Syeikh Mustafa Al-galayaini, diharapkan ke depan kita dapat memanfaatkan ilmunya sehingga kita benar-benar menjadi insan yang berkualitas dan berguna
assalamualaikum,, maaf sebelumnya, apakah ada terjemah lengkap berupa file pdf dari kitab ini???
BalasHapus