PEMIKIRAN KEARAH APLIKASI PSIKOLOGIS BELAJAR
(IMPLIKASI TEORI-TEORI BELAJAR PSIKOLOGIS BEHAVIORISTIK)
I.
A. Teori Behaviorisme Dalam
Pembelajaran
Behaviorisme adalah teori
belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Teori ini memandang
individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan.
Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka.
Salah satu ciri dari teori
behaviorisme adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat
mekanistis, menekankan peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau
respon, sehingga hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan.
Pada teori belajar ini sering
disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh
ganjaran atau reward dan penguatan
atau reinforcement dari lingkungan.
Sehingga teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena
seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar
Prinsip-prinsip teori
behaviorisme adalah :
a.
Obyek psikologi
adalah tingkah laku
b.
Semua bentuk
tingkah laku dikembalikan pada reflek
c.
Mementingkan
pembentukan kebiasaan
Aristoteles berpendapat
bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja
lilin yang siap dilukis oleh pengalaman[1].
Menurut John Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir
manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman.
Pengalaman adalah satu-satunya
jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari
pengalaman. Secara psikologis, seluruh perilaku manusia, kepribadian, dan
tempramen ditentukan oleh pengalaman inderawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan disebabkan oleh perilaku
masa lalu.
Kesulitan empirisme dalam menjelaskan gejala
psikologi timbul ketika orang membicarakan apa yang mendorong manusia
berperilaku tertentu. Hedonisme,
memandang manusia sebagai makhluk yang bergerak untuk memenuhi kepentingan
dirinya, mencari kesenangan, dan menghindari penderitaan. Dalam utilitarianisme perilaku anusia tunduk
pada prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme
digabung dengan hedonisme dan utilitariansisme, maka itulah yang
disebut dengan behaviorisme.
Thorndike dan Watson, kaum
behaviorisme berpendirian bahwa organisme
dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis;
perilaku adalah hasil pengalaman dan prilaku digerakan atau dimotivasi oleh
kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Aliran
behavioristik yang lebih bersifat elementaristik
memandang manusia sebagai organisme yang pasif, yang dikuasai oleh
stimulus-stimulus yang ada di lingkungannya. Pada dasarnya, manusia dapat
dimanipulasi, tingkah lakunya dapat dikontrol dengan jalan mengontrol stimulus-stimulus
yang ada dalam lingkungannya[2].
B.
Tokoh-tokoh
dalam Behaviorisme
1.
Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi anatara peristiwa yang
disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Eksperimen yang
dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang
apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar
disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Thorndike
menemukan hukum-hukum, yaitu:
a.
Hukum kesiapan (Law
of Readiness)
Jika suatu organisme
didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan
tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung
diperkuat.
b.
Hukum latihan
Semakin sering suatu tingkah
laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.
c.
Hukum akibat
Hubungan stimulus dan respon
cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibanya tidak memuaskan.
2.
Ivan Petrovich Pavlo[3]
(1849-1936)
Teori pelaziman klasik
Adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan
stimuli tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu.
Setelah pemasangan ini terjadi berulang-ulang, stimuli yang netral melahirkan
respons terkondisikan.
Pavlo mengadakan percobaan
laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus
bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan
tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa
disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang
berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut
diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara
mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh
stimulus dari luar.
Belajar menurut teori ini
adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang
menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah
adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah
terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
3.
Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang
utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai
suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama[4]. Guthrie
juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan
terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak
hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap.
Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman
yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
4.
Skinner
Menurut Skinner hubungan
antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya,
yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku.
C.
Kelebihan dan kekurangan Menurut B.F. Skinner
1.
Kelebihan
Pada teori ini, pendidik
diarahkan untuk menghargai setiap anak didiknya. hal ini ditunjukkan dengan
dihilangkannya sistem hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan
lingkungan yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya
kesalahan.
2.
Kekurangan
Beberapa kelemahan
dari teori ini berdasarkan analisa teknologi[5]
adalah bahwa:
1)
teknologi untuk
situasi yang kompleks tidak bisa lengkap; analisa yang berhasil bergantung pada
keterampilan teknologis,
2)
keseringan
respon sukar diterapkan pada tingkah laku kompleks sebagai ukuran peluang kejadian.
Disamping itu pula, tanpa
adanya sistem hukuman akan dimungkinkan akan dapat membuat anak didik menjadi
kurang mengerti tentang sebuah kedisiplinan. hal tersebut akan menyulitkan
lancarnya kegiatan belajar-mengajar. Dengan melaksanakan mastery learning, tugas
guru akan menjadi semakin berat.
Beberapa Kekeliruan dalam
penerapan teori Skinner adalah penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk
mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik adalah anak merasakan
sendiri konsekuensi dari perbuatannya. Misalnya anak perlu mengalami sendiri
kesalahan dan merasakan akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun
fisik seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat buruk
pada siswa.
D.
Implikasi Teori Behaviorisme dalam
Pembelajaran
Berangkat dari asumsi bahwa belajar merupakan
perubahan perilaku sebagai akibat interaksi antara stimulus dengan respons,
maka pembelajaran kemudian dipandang sebagai sebuah aktivitas alih pengetahuan (transfer of knowledge) oleh guru kepada
siswa. Dalam perspektif semacam ini, terlihat bahwa peran guru dipandang
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
Kedudukan siswa dalam konteks pembelajaran behaviorisme menjadi “orang yang tidak tahu apa-apa” dan karena itu perlu diberitahu oleh guru. Dengan demikian perubahan perilaku siswa mesti bersesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Jika terjadi perubahan perilaku yang tidak sesuai maka hal tersebut dipandang sebagai error behavior yang perlu diberikan ganjaran.
Kedudukan siswa dalam konteks pembelajaran behaviorisme menjadi “orang yang tidak tahu apa-apa” dan karena itu perlu diberitahu oleh guru. Dengan demikian perubahan perilaku siswa mesti bersesuaian dengan apa yang dikehendaki oleh guru. Jika terjadi perubahan perilaku yang tidak sesuai maka hal tersebut dipandang sebagai error behavior yang perlu diberikan ganjaran.
Pembelajaran dengan demikian dirancang secara
seragam dan berlaku untuk semua konteks, tanpa mempersoalkan perbedaan
karakteristik siswa maupun konteks sosial dimana siswa hidup. Kontrol belajar
dalam pembelajaran behavioristik tidak memberi peluang bagi siswa untuk berekspresi
menurut potensi yang dimilikinya melainkan menurut apa yang ditentukan.
Mengacu pada berbagai argumentasi yang telah
dipaparkan, maka secara ringkas implikasi teori behavioristik dalam
pembelajaran dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Pembelajaran
adalah upaya alih pengetahuan dari guru kepada siswa
b. Tujuan
pembelajaran lebih ditekankan pada bagaimana menambah pengetahuan.
c. Strategi
pembelajaran lebih ditekankan pada perolehan keterampilan yang terisolasi
dengan akumulasi fakta yang berbasis pada logika liner.
d. Pembelajaran
mengikuti aturan kurikulum secara ketat dan belah lebih ditekankan pada
keterampilan mengungkapkan kembali apa yang dipelajari.
e. Kegagalan
dalam belajar atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan
sebagai kesalahan yang perlu dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
f. Evaluasi
lebih ditekankan pada respons pasif melalui sistem paper and pencil test dan
menuntut hanya ada satu jawaban yang benar. Dengan demikian, evaluasi lebih
ditekankan pada hasil dan bukan pada proses, atau sintesis antara keduanya
III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar