Latar
belakang
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Pendidikan
adalah salah satu upaya yang bertujuan untuk membentuk pribadi manusia,
mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang berbentuk jasmaniyah maupun
rohaniyah, menumbuhkan hubungan yang harmonis setiap pribadi manusia dengan Allah,
manusia dan Alam semesta. Pendidikan mengajarkan setiap manusia umumnya dan
umat islam khususnya untuk mencapai dan mewujudkan sebuah tujuan yang
sesungguhnya yaitu untuk selalu taat dan mengabdi kepada Allah Swt.
Tujuan ini
merupakan dasar yang paling utama sebagai bentuk pengabdian seorang
hamba kepada Tuhannya, karena tidak semua manusia yang tunduk dan patuh kepada
Allah Swt. Ketidakpatuhan tersebut salah
satunya didasari tidak adanya pendidikan yang seharusnya sudah diajarkan saat
manusia yang lahir kedunia. Allah
memberikan sebuah potensi fitrah pada manusia setiap ia lahir kepermukaaan
dibumi ini, namun perlu adanya pendidikan dasar yang telah dibebankan
kepadasetiap orang tua sebagai pendidik awal bagi anaknya. Orang tua mempunyai
peran penting untuk membimbing, membina dan mendidik anaknya untuk menjadi
anak yang beriman dan bertaqwakepada Allah.
1. Konsep
pendidikan di Indonesia
Menurut SK Dirjen Dikti
No.32/DJ/Kep/1983 menyebutkan bahwa komponen pendidikan umum diarahkan untuk
melengkapi pembentukan kepribadian individu dengan pengembangan kehidupan pribadi
yang memuaskan, keanggotaan keluarga yang
bahagia, dan masyarakat yang produktif.[1]
Dalam buku Sistem Pendidikan Tenaga
Kependidikan menyatakan bahwa komponen dasar umum diarahkan kepada pembentukan
warga Negara pada umumnya dengan kompetensi personaal, sosial, serta kultural.
Dalam SK Mendiknas no.008-E/U/1975
menyebutkan bahwa Pendidikan Umum ialah pendidikan yang bersifat umum, yang
wajib diikuti oleh semua siswa dan mencakup program Pendidikan Moral Pancasila
yang berfungsi bagi pembinaan warga negara yang baik.
Jadi, konsep pendidikan di Indonesia
secara umum pendidikan diarahkan untuk melengkapi pembentukan kepribadian
individu dengan pengembangan kehidupan pribadi yang memuaskan, keanggotaan
keluarga yang bahagia, dan masyarakat
yang produktif dengan kompetensi personaal, sosial, serta kultural.
Pendidikan Umum itu memiliki
beberapa tujuan:
a.
Membiasakan siswa berfikir objektif,
kriitis dam terbuka.
b.
Memberikan pandangan tentang berbagai jenis nilai hidup, seperti kebenaran,
keindahan dan kebaikan.
c.
Menjadi manusia yang sadar akan
dirinya, sebagai makhluk, sebagai manusia, dan sebagai pria dan wanita, serta
sebagai warga negara.
d.
Mampu menghadapi tugasnya, bukan
saja menguasai profesinya, tetapi karena mampu mengadakan bimbingan dan
hubungan sosial yang baik dalam lingkungannya.
Dengan demikian Pendidikan Umum
membina pribadi yang utuh, terampil berbicara, menggunakan lambang dan isyarat,
mampu berkreasi dan menghargai hal-hal yang secara menyakinkan estetika, ditunjang oleh kehidupan yang berharga dan
disiplin dalam hubungan pribadi dan pihak lain memiliki kemampuan membuat
keputusan yang bijaksana, serta memiliki wawasan yang integral.[2]
Adapun
makna-makna Program Pendidikan Umum Indonesia berkaitan dengan
pola-pola pada materi pokok adalah sebagai berikut:
1) Pola Simbolik
Dengan
pola ini siswa dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan dalam berbahasa, membaca
angka-angka, mengenal tanda-tanda hitung, dan dapat menggunakan simbol-simbol
untuk mengepresikan makna-makn yang terstruktur. Pola ini dapat dicapai dengan
mengajarkan pelajaran Bahasa dan Matematika.
2) Pola Empiris
Dalam
pola ini siswa dibimbing untuk dapat memilki kemampuan dalam mendeskripsikan fakta-fakta
empiris, membuat generalisasi atau formulasi teoritis tentang gejala-gejala
alam, sosial dan jiwa manusoia. Pola ini dapat di penuhi dengan mengajarkan
Fisika, Biologi, Psikologi, dan Ilmu-ilmu Sosial.
3) Pola Estetik
Dalam
pola ini siswa dibimbing untuk dapat
memiliki ke mampuan berapresiasi dan berkreasi. Dengan demikian siswa mampu
mengapresiasi berbagai objek visual yang mengandung nilai-nilai estetik dalam
lingkungan kehidupannya, serta mampu berkreasi dengan memenuhi syarat-syarat
estetika yang telah didalaminya. Pola ini dapat dipenuhi dengan mengajarkan
seni, kesusatraan, dan filfasat.
4) Pola Synoetik[3]
Dengan pola ini siswa
dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan memandang dan menyadari keberadaan
nilai-nilai secara langsung dalam arti dapat merasakan dan menyadari bahwa
keberadaan dirinya diberi arti oleh keberada orang lain dilingkungannya,
sehingga siswa mampu menghayati tentang keberadaan hidup bersama dalam
maasyarakat. Pola ini dapat diterapkan dengan mengajarkan filsafat, kesenian,
pendidikan agama, dan ilmu sosial.
5) Pola Etika
Dalam
pola Etika siswa dibimbing untuk dapat memiliki kemampuan tentang moralitas,
sehingga dalam hidupnya senantiasa bertindak dengan memperhatikan pertimbangan
nilai, norma, etika, sopan-santun dan hukum positif yang ada dan dijujung
tinggi oleh masyarakat. Hal itu akan menjadi pola fikir, sikap dan tindakannya
bersifat etis. Pola ini dapat dipenuhi dengan memberikan etika, moral, filsafat
dan agama.
6) Pola Synoptik
Pola
ini menentukan terbentuknya kemampuan dalam mengambil sebuah keputusan dengan
mempertimbangkan nilai-nilai baik dan buruk pada persoalan yang dihadapinya. Dalam pola ini ternasuk
kemampuan meyakini dan mengimani sesuatu pandangan hidup. Pola ini dapat
dipenuhi dengan memberikan pengajaran agama, moral, sejarah, kebudayaan dan
filsafat.
Menurut konsep pendidikan, dalam proses
penyelenggaraan pendidikan juga di atur oleh undang-undang sistem pendidikan
nasional.
Menurut Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya.
Undang-undang Sistem pendidikan nasional ini di
sahkan oleh DPR pada tanggal 11 juni 2003. Dalam batang tubuh undang-undang
tersebut memuat 22 Bab dan 77 Pasal yang isinya cukup ideal dan akomodatif
dalam mengatur sistem pendidikan di Indonesia. Secara berurut-urut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Peserta
didik
Menurut
Ariestoteles peserta didik ialah bahan yang digunakan dalam proses pendidikan.
Karena di dalam suatu pendidikan tanpa adanya peserta didik, proses pendidikan
tidak akan berlangsung.
b) Pendidik
Pendidik
adalah orang dewasa yang bertanggung jawab untuk pendidikan anak didik. Ketika
anak berada dirumah, pendidikan dilakukan oleh orang tua, ketika di sekolah
dilakukan oleh guru dan ketika di masyarakan pendidikan dilakukan oleh
masyarakat. Dilakukan oleh masyarakat karena disini masyarakat juga berperan
sangat penting karena kebaikan dan keburukan sifat yang dimiliki seorang anak
tergantung pada pergaulan.
Kriteri
seorang pendidik antara lain:
1. Merasa
terpanggil untuk mendapatkan trugas suci yang mulia ini.
2. Mencintai
dan menyayangi anak didiknya.
3. Mempunyai
rasa tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang diberikan.
c) Materi
Materi
adalah masalah yang pokok karena menyangkut kualitas pendidikan. Materi
tersebut mencakup semua segi kehidupan dan bersumber pada nilai-nilai kehidupan
dan berdasarkan pada kurikulum. Menurut prof. Notonegara kurikulum adalah
kesatuan kegiatan dan usaha-usaha pendidikan yang terorganisasi yang dilakukan
dengan lembaga pendidikan dan terarah kepada tercapainya tujuan pendidikan
nasional.
d) Kurikulum
Sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam Bab X pasal 36,37,38 yang menjelaskan tentang
pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standr nasional
pendidikanuntuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, dengan prinsip
diversifikasi sesui dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik.
e) Pendanaan
pendidikan
Hal
ini lebih diarahkan ada pasal 46 ayat 1
yang menetapkan “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat” dan pasal 47 ayat 2 berbunyi
“Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsi keadilan, kecukupan
dan beerlanjutan dan pemerintah. Pemerintah daerah dan masyarakat mengarahkan
sumber daya yang adasesuai dengan peraturan UU yang berlaku”.
f) Metode
Metode
ialah cara-cara yang digunakan pendidik dalam menerangkan pelajaran supaya
peserta didik dapat memahami.
Metode
ini dibagi tiga macam antara lain:
1)
Metode
Induktif
Metode ini bertujuan untuk
membimbing peserta didik untuk mengetahui fakta-fakta dan hukum-hukum umum
melalui jalan pengambilan kesimpulan atau induksi. Dalam melaksanakan metode
ini pendidik hendaknya memulai dari bagian-bagian yang kecil untuk sampai pada
undang-undang umum, pendidik memberi contoh detail yang kecil, kemudian mencoba
memandingkan dan menentukan sifat-sifat kesamaan untuk mengambil kesimpulan dan
membuat dasar umum yang berlaku terhadap bagian-bagian dan contoh-contoh yang
sudah diberikan maupun yang belum diberikan.
2)
Metode
Deduktif
Metode ini merupakan kebalikan dari
metode induktif, dimana perpindahan menurut metode ini dari yang umum kepada
yang khusus, jadi metode ini sangat cocok bila digunakan pada pengajaran sains,
dan pelajaran yang mengandung perinsip-perinsip, hukum-hukum, dan fakta-fakta
umum yang dibawahnya mengandung masalah-masalah cabang. Metode ini sebagai
pelengkap dari metode induktif, maka sebaiknya seorang guru menggabungkan diantara
dua metode tersebut.
3)
Metode
Dialog (Diskusi)
Metode ini biasanya dikemas dalam
tanya jawab, hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat memahami materi
secara lebih mendalam. Metode ini terdapat dalam Al Qur`an surat Al Ankabut
ayat 46: “Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli kitab, melainkan dengan cara
yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
Katakanlah: “Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu dan kami
hanya kepada-Nya berserah diri”. Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa
diskusi atau dialog harus dilaksanakan dengan cara yang baik. Cara yang baik
ini perlu dirumuskan lebih lanjut, sehingga timbullah etika berdiskusi,
misalnya tidak memonopoli pembicaraan, saling menghargai pendapat orang lain,
kedewasaan pikiran dan emosi, berpandangan luas.
4)
Metode eksperimentaL
Metode eksperimental ialah suatu
cara pengelolahan pembelajaran dimana siswa melakukan aktivitas percobaan
dengan mengalami dan membuktikan sendiri suatu yang dipelajari.
5)
Metode study tour
Metode study tour adalah metode mengajar dengan mengajak peserta didik
mengunjungi suatu obyek guna memperluas pengetahuan peserta didik dan
selanjutnya peserta didik ditugaskan untuk mengungkapkan kembali apa yang telah
ia dapat dari study tour dengan cara membuat laporan dan mendiskusikan serta membukukan hasil kunjungan tersebut
dengan didampingi oleh pendidik.
2.
Pendidikan Masa Indonesia Merdeka
a.
Pada masa
Orde Baru
Pada masa
ini, pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa
Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan negara-negara maju
lainnya, maka secara kuantitas dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap
daerah. Hasilnya, sekolah begitu banyak berdiri di tanah air. Secara
kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap anak dapat
bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan
baik. Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah
Pendidikan Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan
lulusannya yang siap pakai. Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada.
Akibatnya, pemerintah mengambil jalan pintas. Semua lulusan setingkat SLTA
diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki kemampuan dan
ketrampilan sebagai guru yang layak.
Di
daerah-daerah, terjadi kemerosotan pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat
tajam antara sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya
mengandalkan kebijakan pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas
berhasil, namun penyediaan sarana dan prasarana lainnya tidak mendukung.
Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua siswa dan akses yang
mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku perpustakaan dan
sarana pendukung lain yang baik.
Selanjutnya, kualitas lulusan siswa tidak sebanding dengan
perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun
tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode
sebelumnya. Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan
kemampuan kognitif siswa yang harus menyerap semua informasi dan
pengetahuan. [4]
Di sisi
lain, perubahan kurikulum terjadi hampir setiap sepuluh tahun. Kurikulum 1978 diganti
dengan munculnya kurikulum 1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994.
Demikian pula kurikulum 1994 mengalami beragam tambahan yang dibuktikan dengan
adanya suplemen 1994.
Agaknya
perubahan kurikulum tersebut dilaksanakan karena terkait dengan perkembangan
jaman. Tuntutan perbaikan kualitas dan juga kepentingan politik tertentu
melahirkan kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan ideologi. Pada
masa pemberlakuan kurikulum 1984 ini model pembelajaran yang sangat terkenal
adalah CBSA atau Cara Belajar Siswa Aktif di mana guru memberikan peluang dan
respon bagi siswa yang memang memiliki kecerdasan dan kepintaran. Sistem ini
dipergunakan untuk merubah model pengajaran yang kaku dan statis seperti yang
dilaksanakan pada masa sebelumnya.
a.
Pendidikan
Masa Reformasi
Pada masa revolusi, jelas sekali kebijakan yang dihasilkan terkait dengan
aspek politik dan ekonomi. Munculnya suplemen 1999 juga dalam rangka
kepentingan politik yang mendasarinya. Namun semenjak penataran P-4 (Eka
Prasetya Pancakarsa) ditiadakan maka dunia pendidikan dikembalikan pada posisi
yang semestinya.
Pada tahun
2004 mulai diberlakukan kebijakan kurikulum baru. Kurikulum berbasis kompetensi
menjadi jawaban atas perkembangan jaman. Kurikulum ini berusaha untuk
memberikan solusi atas perubahan jaman dan globalisasi yang melanda dunia mana
saja. [5]
Namun
demikian, dunia pendidikan bukan berarti lepas dari persoalan yang ada.
Pembaharuan kurikulum ternyata tidak diimbangi dengan manajemen dan kebijakan
baru dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan. Ujian nasional dengan
pemberlakuan standar nilai yang dilakukan secara terpusat telah memberangus
standar proses yang seharusnya menjadi titian utama kurikulum 2004.
Kurikulum
2006 akhirnya diberlakukan pula dalam menekankan makna keberfungsian semangat
kompetensi dan kepentingan lokal. Tidak hanya itu saja, pemerintah juga
memberikan subsidi dana bagi sekolah dari tingkat dasar sampai SLTP lewat Dana
Bos. Di samping itu, pemerintah
memberlakukan MBS sebagai model manajemen sebuah sekolah yang efektif dan
efisien. Pemerintah pula memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya
peningkatan kualitas sekolah secara utuh. Kriteria SSN, akselerasi, imersi,
RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada situasi persekolahan
saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin, 1990. Kapita Selekta Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai.
Tilaar, H.A.R. 1995. 50 Tahun Pembangunan
Pendidikan Nasional Indonesia 1945-1995. Jakarta: Gramedia Widiasarana.
Zaenuddin, 2008. Reformasi
Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta:
Rinekacipta, 2009.
Muhammad Al-abrasyi, At-Tarbiyyah al-Islamiyyah wa
falasifatuha, Mesir: al-Halabi,1975
[1] SK Dikti
no 32
[2] Jalaludin, 1990. Kapita Selekta
Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia, hlm 5.
[3]
Notosusanto,
Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai, hlm 2-6.
[4] Zaenuddin, 2008. Reformasi
Pendidikan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hlm 61.
[5] Haidar Putra
Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: Rinekacipta, 2009,
hlm 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar