PEMIKIRAN KALAM DI KALANGAN
ULAMA ZAMAN MODERN
(Timur tengah , India , Pakistan,
dan Asia Tenggara)
Sering kali
dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai
kelompok, mengalami kesulitan keagamaan untuk tidak mengatakan tidak siap
ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan
keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup menyediakan seperangkat teori dan
metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus
berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang
lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Begitupun
sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari,
mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak,
muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih,
(al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab,(jinayah-siyasah), ushul fiqh,
filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan
pendidikan Islam.
1.
Riwayat pemikir ilmu kalam modern
a. Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan
pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad.[1]
Semasa belajar di Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan
muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap
dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab
pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat. Selagi ayahnya
masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi
setelah wafat ayahnya pada tahun 1153 kini tak ada yang menghalanginya.
Dua aspek yang membantu penyebaran
dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad
yaitu:
1)
Mendukung sistem politik keluarga
Su’ud.
2)
Menjauhkan masyarakat Najad dari
peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara
pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang
jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis
buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul murom) yang
menerima dan mengikuti ajarannya.
b.
Muhammad
Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot
(Pakistan) pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana
Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama
beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab
untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission
School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa
Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu
pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government
College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang
menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[2]
Ketika belajar di kota India, Beliau
menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan
dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya
terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam
mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat
islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai
simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih
selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga
sebagai dosen. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan
untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh
sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu juga
dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.
c.
Sayyid
Ahmad Khan
Sayyid
Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal
dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah az Zahra. Nenek dari Sayyid Khan adalah pembesar istana pada zaman
Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam
pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau
rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia
delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur. Pengaruhnya
beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar.
Beliau penglima utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, beliau juga
berperan dalam pengorganisasian gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di
dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di India, gerakan nasionalis
dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.
Di kota Delhi inilah beliau melihat
langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh
dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud
Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang dan karya
pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke
Bijnore. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi
yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat
keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju
Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India
agar menjadi maju.
d. Harun
Nasution
Harun Nasution lahir pada hari
selasa 23 september 1919 di Sumatera. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah
Belanda HIS, setelah itu ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool)
di Bukittinggi 1934. kemudian melanjutkan ke Universitas Amerika di Mesir dan melanjutkan ke Mc.Gill Kanada pada tahun 1963. Pada tahun 1969 beliau
menjadi dosen di IAIN Jakarta,IKIP Jakarta dan Universitas Nasional.[3]
2. Pemikiran-pemikiran
para tokoh ilmu kalam modern
a.
Pemikiran
dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi dengan pondasi
pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat
manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi penguasa
dua haram yang suci (Mekkah al mukarramah dan Madinah al munawwarah), terpaksa
harus membangung dan mengatur sistem pemerintahannya sesuai dengan model
pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang
sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Ia menyetujui mengimpor produk
teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan
lain-lain. Sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib,
menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah
sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia
menghadapi dua kekuatan besar dan tidak ada jalan lain kecuali harus memilih
salah satunya dari:
1)
Pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad
memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras
segala bentuk perubahan dan peradaban baru.
2)
Arus peradaban baru yang dalam
system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah
dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui negara-negara islam yang lain
sebagai negara Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka
juga memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya
berdasarkan sistem pemerintahan modern
b.
Pemikiran
Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak
konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya
mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam
kehidupan sosial manusia.[4]
Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut
beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan
menjabarkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan
dinamika manusia yang selalu berubah.
Menurut beliau, peralihan kekuasaan
ijtihat yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah
satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem
hukum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum
muslimin agar menerima pemikiran tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas
ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga tingkatan, yaitu :
1)
Otoritas penuh dalam menentukan
perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri
madzhab-madzhab.
2)
Otoritas
relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3)
Otoritas
khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu
dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.
c.
Pemikiran
Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran
dengan Muhammad Abduh di Mesir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin
Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi
dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat
dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah
segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan
akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak
dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama
dengan faham Qadariyah.
Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya:
1)
Daya berfikir berupa akal.
2)
Daya fisik untuk merealisasikan
kehendaknya.
Karena kuatnya kepercayaan terhadap
hukum alam dan mempertahankan konsep hukum alam, beliau dianggap kafir oleh
sebagian umat Islam. Bahkan ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin
Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut,
Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah
(Jawaban Bagi Kaum Materialis).[5]
Sejalan dengan faham Qadariyah
yang dianutnya, ia menentang faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat
Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman.
Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature
(sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah
berubah, Menurut beliau, Islam agama yang paling sesuai dengan hukum alam
karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka
sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
Namun beliau juga menolak semua yang
bertentangan dengan logika dan hukum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an
sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu. Alasan
penolakan beliau terhadap hadits adalah karena hadits berisi moralitas sosial
dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits tersebut
dikumpulkan. Sedangkan hukum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas
masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab.
d.
Pemikiran kalam Harun Nasution
Salah satu pemikiran dari
Harun Nasution seperti:[6]
1.
Peranan akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal
dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di
Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman
seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution
menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena dengan akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi
dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
2.
Pembaruan teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam,
teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun
tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio
kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena
menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat
ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal
mengenai ilmu pengetahuan. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk
kandungan yaitu:
a.
Qath’iy al dalalah
Qath’iy dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi
dibutuhkan interpretasi.
b.
Zhanniy al-dalalah
Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum
jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan.
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis
lain pendahuluannya (Muhammad
Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan
lainnya) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution
umat islam hendaklah
merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri.
3.
Hubungan akal dan wahyu
Salah satu pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal
dan wahyu.[7]
Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan.
Dalam pemikiran Islam, baik di
bidang filsafat dan ilmu kalam apalagi di bidang ilmu fiqih akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk kepada wahyu. Sedangkan wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap
wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang
dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu,
tetapi penafsiran tertentu dari wahyu dengan lain dari wahyu itu juga. Jadi,
yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu
dengan pendapat akal ulama lain.
Menurut Harun Nasution,
ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran islam
yang bersifat dasar
Ajaran
dasar ialah ajaran yang bersifat universal dan tetap itu biasanya dikenal
dengan ajaran yang pasti. Ajaran ini mencakup tiga bentuk ajaran, yakni:
a) Ajaran
qat’iy al wurud
Ajaran qat’iy wurud yaitu ajaran
yang pasti sumber kedatangannya, baik dari Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an
maupun dari Nabi berupa hadis mutawatir.
b) Qat’i al- dalalah
Yaitu
ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash) hanya memiliki satu
arti, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari hadis mutawatir, ajaran dalam bentuk
ini sangatlah sedikit dan biasanya mengenai kata yang menunjuk kepada bilangan.
c) Qat’i al-tanfiz
Yaitu ajaran yang mesti diberlakukan
dan bila tidak dilaksanakan, maka seseorang tergolong melakukan pelanggaran.
2) Ajaran islam
yang bersifat absolut
Ajaran
absolut adalah ajaran yang nisbi, relatif, tidak tetap, boleh berubah, dan
tidak mengikat. Ajaran ini biasanya dikenal sebagai kelompok ajaran yang zanni.
Ajaran
ini meliputi tiga bentuk ajaran, yaitu:
a) Zanni al- wurud
Zanni
al-wurud adalah semua ajaran selain ayat Al-Qur’an dan hadis
mutawatir disebut ajaran yang tidak dipastikan kedatangannya, karena ajaran ini
terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorangan atau pendapat pribadi.
b) Zanni al-dalala
Yakni ajaran yang tidak pasti maknanya
karena makna yang dikandung suatu teks (nash) lebih dari pada satu arti,
baik dari Al-Qur’an maupun hadits mutawatir.
c) Zanni al-tanfiz
Yakni ajaran yang tidak pesti diberlakukan,
misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti
maknanya (qat’i al-dalalah) tetapi pemberlakuannya tidaklah pasti.
Artinya, seseorang tidak dianggap berdosa bila tidak membagi warisnya satu
banding satu tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dengan membagi satu
banding satu dengan saudara wanitanya
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Razak dan Rosihan Anwar. 2006.
Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Abdullah, Taufik. 1987. Sejarah dan masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Abdullah, Taufik. 1987. Sejarah dan masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Harun Nasuion. 1989. Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Jakarta: Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar