MENCARI
JIHAD MENUJU KERIDHA’AN ALLAH
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di masa kita sekarang ini istilah jihad telah diselewengkan maknanya
oleh sebagian kelompok. Menurut mereka aksi-aksi terorisme berupa bom bunuh
diri, pembunuhan orang-orang kafir tanpa alasan yang benar, dan menimbulkan
kekacauan merupakan bagian dari jihad. Sesungguhnya ini adalah kenyataan yang
sangat menyedihkan.
Ajaran Islam adalah ajaran yang mendatangkan rahmat bagi umat manusia.
Allah ta’ala berfirman, yang artinya: “Tidaklah Kami mengutus engkau melainkan
sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.” (QS. al-Anbiya’: 107). Namun
anehnya, orang-orang yang melakukan pengeboman dan aksi bunuh diri itu merasa
bangga dan menganggap dirinya sebagai mujahid. Sesungguhnya ini merupakan hasil
tipu daya syaitan kepada mereka.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Definisi Jihad dari Berbagai Perspektif?
2.
Kapan Pelaksanaan Jihad?
3.
Bagaimana Bentuk-Bentuk Jihad?
4.
Bagaimanakah Jihad Melawan Hawa Nafsu?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Menjelaskan Tentang Definisi Jihad dari Berbagai Perspektif.
2.
Menjelaskan Tentang Pelaksanaan Jihad.
3.
Menjelaskan Tentang Bentuk-Bentuk Jihad.
4.
Menjelaskan Tentang Jihad Melawan Hawa Nafsu.
II. PEMBAHASAN
A.
Definisi Jihad dari
Berbagai Perspektif
Salah satu wacana Islam sejak masa-masa
awal muslim hingga kotemporer adalah jihad, yakni jihad fisabilillah. Hal ini paling sensitif dan paling sering
diperdebatkan baik di timur maupun di barat (Nasr, 1994: 19).
Pada umumnya orang hanya mengartikan
bahwa jihad selalu berhubungan dengan perang, mengangkat senjata dan kekerasan.
Bisa diartikan perang melawan orang kafir dan menegakan kebenaran. Namun disisi
lain dapat pula diartikan sebagai pertahanan iman. Jihad mempertahankan iman
diluar perang adalah bahwa kita harus memerangi hawa nafsu dan syaitan yang ada
dalam diri kita sendiri. Kita harus memerangi rasa was-was dan keragu-raguan
tentang aqidah dan keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya (Chirzin, 1997: 60)
Jihad berasal dari Bahasa Arab, bentuk
isim masdhar dari fi’il jahada yang
berarti mencurahkan kemampuan. Lebih lanjut disebutkan jahada al ‘aduwwa yang artinya qatalahu
muhamatan ‘aniddin yang artinya menyerang musuh dalam rangka membela agama (Chirzin,
1997: 60).
Dalam sumber lain disebutkan bahwa secara
bahasa, kata jihad berasal dari kata “jahd”
yang berarti “letih/sukar”, karena jihad memang sulit dan menyebabkan
keletihan. Ada juga yang berpendapat kata jihad berasal dari kata “juhd” yang berarti “kemampuan”, karena
jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan sebesar kemampuan (Shihab, 1996:
501). Dalam hukum Islam, jihad adalah segala bentuk maksimal untuk penerapan
ajaran Islam dan pemberantasan kezaliman, baik terhadap diri sendiri maupun
masyarakat dengan tujuan mencapai ridha Allah Swt.
Dalam pengertian luas, jihad mencakup
seluruh ibadah yang bersifat lahir dan batin dan cara mencapai tujuan yang
tidak kenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan pamrih, baik melalui perjuangan
fisik, emosi, harta benda, tenaga, maupun ilmu pengetahuan sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. selama peroide Mekah dan Madinah. (Rohimin,
2006: 90). Selain jihad dalam pengertian umum, ada pengertian khusus mengenai
jihad, yaitu memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam dan makna inilah yang
sering dipakai oleh sebagian umat Islam dalam memahami jihad.
Kesalahan memahami jihad yang hanya
dimaknai semata-mata perjuangan fisik disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1.
pengertian jihad secara
khusus banyak dibahas dalam kitab-kitab fikih klasik senantiasa dikaitkan dengan
peperangan, pertempuran, dan ekspedisi militer. Hal ini membuat kesan, ketika
kaum Muslim membaca kitab fikih klasik, jihad hanya semata-mata bermakna perang
atau perjuangan fisik, tidak lebih dari itu.
2.
kata jihad dalam
Al-Quran muncul pada saat-saat perjuangan fisik/perang selama periode Madinah,
di tengah berkecamuknya peperangan kaum Muslim membela keberlangsungan hidupnya
dari serangan kaum Quraisy dan sekutu-sekutunya. Hal ini menorehkan pemahaman
bahwa jihad sangat terkait dengan perang.
3.
terjemahan yang kurang
tepat terhadap kata anfus dalam surat Al-Anfal ayat 72 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan
harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertolongan kepada orang-orang muhajirin, mereka itu satu sama
lain lindung-melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum
berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu
dalam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Anfal: 72).
Kata anfus
yang diterjemahkan dengan “jiwa”, menurut Quraish Shihab tidak tepat dalam
konteks jihad. Makna yang tepat dari kata anfus dalam konteks jihad adalah
totalitas manusia, sehingga kata nafs,
kata tunggal dari anfus yang mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, dan
pikiran.
Kesalahan yang sama juga dialami oleh
para pengamat Barat yang sering mengidentikkan jihad dengan “holy war” atau perang suci. Jihad yang
didefinisikan sebagai perang melawan orang kafir tidak berarti sebagai perang
yang dilancarkan semata-mata karena motif agama. (Budianto, 2004: 151). Secara
historis, jihad lebih sering dilakukan atas dasar politik, seperti perluasan
wilayah Islam atau pembelaan diri kaum Muslim terhadap serangan dari luar. Oleh
sebab itu, “holy war” adalah
terjemahan keliru dari jihad. “Holy war”
dalam tradisi Kristen bertujuan mengkristenkan orang yang belum memeluk agama
Kristen, sedangkan dalam Islam jihad tidak pernah bertujuan mengislamkan orang
non-Islam.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa ketika
kaum Muslim menaklukkan sebuah negeri; rakyat negeri itu diberi pilihan masuk
Islam atau membayar jizyah yaitu
semacam pajak atas jasa kaum Muslim yang melindungi mereka. Pemaksaan agama
Islam dengan ancaman tidak dikenal dalam sejarah Islam. Sama halnya dengan
penyebaran Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Wali Songo menggunakan jalur
budaya, tidak menggunakan jalan peperangan.
Munawar Chalil dalam buku Kelengapan
Tarikh Nabi Muhammad Saw. mengutip pendapat Muhammad Abduh, Ibnul-Qayyim dalam
Zaad Al-Ma’ad, dan Syeikh Thanthawi Jauhari, menyatakan bahwa orang-orang
kurang mengerti, menyangka bahwa jihad itu tidak lain adalah berperang dengan
kafir. Sebenarnya tidak begitu. Jihad itu mengandung arti, maksud, dan tujuan
yang luas. Memajukan pertanian, ekonomi, membangun negara, serta meningkatkan
budi pekerti umat termasuk jihad yang tidak kalah pentingnya ketimbang
berperang (Faiz, 1991: 179).
B. Pelaksanaan Jihad
Pelaksanaan Jihad dapat dirumuskan sebagai berikut
(Wikipedia, 2012) :
1. Pada konteks
diri pribadi, yaitu dengan berusaha membersihkan pikiran dari pengaruh-pengaruh
ajaran selain Allah dengan perjuangan spiritual di dalam diri, mengerjakan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
2. Komunitas,
yaitu berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak
dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.
3. Kedaulatan,
yaitu berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun
pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat
di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Jihad ini
hanya berlaku pada daulah yang
menggunakan Din Islam secara menyeluruh/Kaffah
C.
Bentuk-bentuk Jihad
Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa Jihad
adalah salah satu kewajiban muslim yang berkelanjutan hingga hari kiamat.
Tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemungkaran dan
yang tertinggi berupa perang di jalan Allah. Diantara keduanya adalah
perjuangan dengan lisan, pena, dan tangan berupa pernyataan tentang kebenaran
dihadapan yang dholim (Chirzin, 1997: 74)
Menurut Ar-Raghib Al-Isfahani sebagaimana
yang dikutip oleh Quraish Shihab, jihad terdiri dari tiga macam, yaitu:
1. Menghadapi
musuh yang nyata, yaitu mereka yang secara jelas-jelas memerangi umat Islam,
seperti kaum Quraisy yang mengerahkan segenap kemampuannya untuk memangkas
keberlangsungan komunitas umat Islam,
2. Menghadapi
setan, dilakukan dengan cara tidak terpengaruh segala bujuk rayunya yang
menyuruh manusia membangkang kepada Allah Swt., dan
3. Melawan
hawa nafsu, inilah jihad terbesar dan paling sulit. Nafsu yang ada pada tiap
diri manusia selalu mendorong pemiliknya untuk melanggar perintah-perintah
Allah Swt., dengan tetap setia menjalankan perintah-Nya, berarti umat Islam
berjihad melawan hawa nafsu.
Menurut Ibnu Qayyaim, dilihat dari segi
pelaksanaannya, jihad dibagi menjadi tiga bentuk:
Pertama,
jihad muthlaq; perang melawan musuh
dalam medan pertempuran. Jihad dalam bentuk perang ini mempunyai persyaratan
tertentu, di antaranya perang harus bersifat defensif, untuk menghilangkan
kekacauan serta mewujudkan keadilan dan kebajikan. Perang tidak dibenarkan bila
dilakukan untuk memaksakan ajaran Islam kepada orang non-Islam, untuk tujuan
perbudakan, penjajahan, dan perampasan harta kekayaan. Juga tidak dibenarkan
membunuh orang yang tidak terlibat dalam peperangan tersebut, seperti wanita,
anak kecil, dan orang-orang tua.
Kedua,
jihad hujjah; jihad yang dilakukan
dalam berhadapan dengan pemeluk agama lain dengan mengemukakan argumentasi
kuat. Jihad dalam bentuk ini memerlukan seseorang yang punya kemampuan ilmiah
tinggi yang bersumber dari Al-Quran dan sunnah-sunnah Nabi serta mampu
berijtihad.
Ketiga,
jihad ‘amm; jihad yang mencakup segala
aspek kehidupan, baik bersifat moral maupun bersifat material, terhadap diri
sendiri maupun terhadap orang lain di tengah-tengah masyarakat. Jihad seperti
ini dapat dilakukan dengan pengorbanan harta, jiwa, tenaga, waktu, dan ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Jihad ini juga bersifat berkesinambungan, tanpa
dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, dan bisa dilakukan terhadap musuh yang
nyata, setan atau hawa nafsu.
D.
Jihad
Melawan Hawa Nafsu
Jihad melawan hawa nafsu adalah jihad
yang paling besar. Perang Badar, perang terbesar dan yang sangat menentukan
bagi keberlangsungan komunitas Muslim. Kemenang kaum Muslim dalam Perang Badar,
dengan jumlah yang sedikit melawan musuh yang berjumlah sangat banyak, memang
dahsyat. Akan tetapi Nabi Muhammad Saw.
mengatakan bahwa Perang Badar adalah perang kecil dan perang besar adalah
perang melawan hawa nafsu. “Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.” (Abdul,
1987: 347)
Dengan demikian, musuh nyata yang harus
dihadapi dengan jihad adalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang
kini banyak menimpa kaum Muslim sebagai akibat dari keserakahan orang-orang
yang tidak bisa berjihad melawan hawa nafsunya.
Nafsu merupakan tempat tumpukan kekuatan
sifat marah dan syahwat pada manusia. Selain itu, nafsu juga merupakan pusat
tempat terpuruknya sifat-sifat yang tercela pada manusia, untuk itu, nafsu
harus dilawan dan ditundukkan (Hasan, 2001: 101).
Nafsu jahat dapat dikenal melalui sifat
keji dan kotor yang ada pada manusia. Dalam ilmu tasawuf, nafsu jahat dan liar
itu dikatakan sifat mazmumah. Di
antara sifat-sifat mazmumah itu ialah
sum’ah, riya’, ujub, cinta dunia,
gila pangkat, gila harta, banyak bicara, banyak makan, hasud, dengki, ego,
dendam, buruk sangka, mementingkan diri sendiri, pemarah, tamak, serakah,
bakhil, sombong dan lain-lain. (Budianto, 2004: 292-293).
Nafsu itulah yang lebih jahat dari
syaitan. Syaitan tidak dapat mempengaruhi seseorang kalau tidak meniti di atas
nafsu. Dengan kata lain, nafsu adalah jalan bebas hambatan untuk syaitan. Kalau
nafsu dibiarkan, akan membesar, maka semakin luaslah jalan syaitan. Kalaulah
nafsu dapat diperangi, maka tertutuplah jalan syaitan dan tidak dapat
mempengaruhi jiwa kita. Sedangkan nafsu ini sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sangat jahat. Firman Allah yang artinya;
“Sesungguhnya hawa nafsu itu sangat
membawa pada kejahatan”.
(QS Yusuf: 53)”
(QS Yusuf: 53)”
Dan ini dikuatkan lagi oleh sabda
Rasulullah; “Musuh yang paling memusuhi kamu adalah nafsu yang ada di antara
dua lambungmu”
Nafsu inilah yang menjadi penghalang
utama dan pertama, kemudian barulah syaitan dan golongan-golongan yang lain.
Memerangi hawa nafsu lebih hebat daripada memerangi Yahudi dan Nasrani atau
orang kafir. Sebab berperang dengan orang kafir cuma sekali-sekali. (Salamah,
1972: 11)
Imam Ibnu Qoyyim berkata, bahwa Jihadun Nafs memiliki 4 Peringkat (Hasan, 2012):
1. Berjihad
melawan nafsu agar mau mempelajari petunjuk agama dan kebenaran Islam.
2. Berjihad
melawan hawa nafsu agar mengamalkan apa yang telah dipelajari dan diketahuinya.
3. Berjihad
melawan hawa nafsu agar mau berdakwah.
4. Berjihad
melawan nafsu agar bersabar dalam memikul beban dakwah.
Secara umum Jihad An-Nafs ada dua bagian yaitu ;
1. Melakukan jihad nafs terhadap hal-hal yang
diinginkan. Di antaranya berupa keselamatan, kekayaan dan kesehatan. Abdurrahman
bin Auf berkata, “kami diuji
dengan kesusahan, kami mampu bertahan. Dan kami diuji dengan kesenangan, namun
kami tidak mampu bertahan”
2. Melakukan
jihad nafs terhadap hal-hal yang dibenci, ada 3 bagian yang perlu diketahui:
a. Jihad an-nafs ‘alath –thaa’at, Yaitu
berjihad melawan nafsu agar mau melakukan ketaatan karena tabiat nafsu manusia
senantiasa membenci ubudiyah dan merasa berat memikulnya.
b. Jihad an-nafs ‘ala tarkil ma’aashi, Yaitu
berjihad melawan nafsu agar meninggalkan maksiat. Jihad ini sangat berat karena
nafsu senantiasa merindukan dan menginginkan kemaksiatan.
c. Jihad an-nafs ‘alar-ridho
biqodarillah, Yaitu berjihad melawan nafsu agar ridha dengan
ketentuan dan takdir Allah (Amin, 1982).
III.
KESIMPULAN
Jihad berasal dari kata “jahd” yang berarti “letih/sukar”, karena
jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat kata
jihad berasal dari kata “juhd” yang
berarti “kemampuan”, karena jihad menuntut kemampuan dan harus dilakukan
sebesar kemampuan. Jihad mencakup seluruh ibadah yang bersifat lahir dan batin
dan cara mencapai tujuan yang tidak kenal putus asa, menyerah, kelesuan, dan
pamrih, baik melalui perjuangan fisik, emosi, harta benda, tenaga, maupun ilmu
pengetahuan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Pelaksanaan Jihad antara lain:
1. Pada konteks
diri pribadi, yaitu dengan mengerjakan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya.
2. Komunitas,
yaitu berusaha agar Din pada masyarakat sekitar maupun keluarga tetap tegak
dengan dakwah dan membersihkan mereka dari kemusyrikan.
3. Kedaulatan,
yaitu berusaha menjaga eksistensi kedaulatan dari serangan luar, maupun
pengkhianatan dari dalam agar ketertiban dan ketenangan beribadah pada rakyat
di daulah tersebut tetap terjaga termasuk di dalamnya pelaksanaan Amar Ma'ruf Nahi Munkar.
Jihad terdiri dari tiga macam, yaitu: Menghadapi
musuh yang nyata, Menghadapi setan, dan Melawan hawa nafsu
Jihad melawan hawa nafsu adalah jihad
yang paling besar. Nafsu merupakan tempat tumpukan kekuatan sifat marah dan
syahwat pada manusia. Selain itu, nafsu juga merupakan pusat tempat terpuruknya
sifat-sifat yang tercela pada manusia, untuk itu, nafsu harus dilawan dan
ditundukkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Aziz, Syeh bin Abdullah bin Badzi.1987. Shohihul Bukhory. Cairo: Maktabah
At-Taufiqiyah.
Amin, Hasanudin. 1982. Mu’jizat Al-Qur’an diteliti dengan Komputer (Majalah Al-Jami’ah).
Yogyakarta: IAIN Sunan Kali Jaga.
Budianto. 2004. Materi-materi Kuliah: Kuliah 7 Menit. Surabaya: Pustaka Media
Chirzin, Muhammad. 1997. Jihad Menurut Sayid Kuthub dalam Tafsir
Zhilal. Solo: Era Enter Media.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT Thoha Putra Semarang
Faiz Almath, Muhammad. 1991. 1100 Hadits Terpilih: Sinar Ajaran Muhammad.
Jakarta: Gema Insani.
Hasan, Maimunah. 2001. Menggapai Ridla Allah. Yogyakarta:
Pustaka Nabawi
Hasan, Munir. 2012. Memerangi Hawa Nafsu, Memerangi Jihad Tertinggi. Diakses pada http://www.kompasiana.com/memerangi-hawa-nafsu-
memerangi-jihad-tertinggi.html pada 25
September 2012 (20:30)
Rohimin. 2006. Jihad Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga.
Shihab, Quraish. 1996. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Wikipedia. 2012. Jihad. Diakses pada http://www.wikipedia.com/jihad.html
pada; 26 September 2012 (18:30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar