Selasa, 20 September 2016

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU BAGI PENDIDIKAN (Suatu Tinjauan Filsafat Sains)


           Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
           Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?. Masalah pendidikan mikro yang menjadi focus disini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
Pendidikan dalam Praktek Memerlukan  teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”. Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).                         
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikn dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).
Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secra orang perorang (personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu :
“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalan- nya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.

DAFTAR PUSTAKA

Hamdani. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. 2011.
Ahmadi, Abu. Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta: Jakarta. 2001.
Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan. Rosdakarya: Bandung 2002.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang hebatnya mengaji

Tentang hebatnya mengaji Ilmu Agama laksana air hujan menembus bumi, orang alim yang mengamalkan ilmunya laksana bumi yang subur. Orang yang...