Minggu, 24 Juli 2016

PEMIKIRAN KALAM DI KALANGAN ULAMA ZAMAN MODERN



PEMIKIRAN KALAM DI KALANGAN ULAMA ZAMAN MODERN
(Timur tengah , India , Pakistan, dan Asia Tenggara)


Sering kali dijumpai bahwa umat Islam, baik sebagai individu dan lebih-lebih sebagai kelompok, mengalami kesulitan keagamaan untuk tidak mengatakan tidak siap ketika harus berhadapan dengan arus dan gelombang budaya baru ini. Bangunan keilmuan kalam klasik rupanya tidak cukup menyediakan seperangkat teori dan metodologi yang banyak menjelaskan bagaiamana seorang agamawan yang baik harus berhadapan, bergaul, bersentuhan, berhubungan dengan penganut agama-agama yang lain dalam alam praksis sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Begitupun sentralnya kedudukan ilmu kalam dalam Dirasat Islamiyah sehingga ia menawari, mengarahkan sampai batas-batas tertentu "mendominasi" arah, corak, muatan materi dan metodologi kajian-kajian keislaman yang lain, seperti fikih, (al-ahwal al-syakhsyiyah, perbandingan mazdhab,(jinayah-siyasah), ushul fiqh, filsafah (Islam), ulum al-tafsir, ulum al-hadist, teori dan praktik dakwah dan pendidikan Islam.
1.      Riwayat pemikir ilmu kalam modern
a.       Muhammad Bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad.[1] Semasa belajar di Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat. Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya pada tahun 1153 kini tak ada yang menghalanginya.
Dua aspek yang membantu penyebaran dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad yaitu:
1)      Mendukung sistem politik keluarga Su’ud.
2)      Menjauhkan masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul murom) yang menerima dan mengikuti ajarannya.

b.      Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir di Sialkot (Pakistan) pada tahun 1873. Beliau berasal dari keluarga kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal saleh. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri kemudian beliau dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari Al-Qur’an. Setelah itu, beliau dimasukkan Scottish Mission School. Di bawah bimbingan Mir Hasan, beliau diberi pelajaran agama, bahasa Arab, dan bahasa Persia. Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, belaiu pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India untuk melanjutkan belajarnya di Government College, Di situ ia bertemu dengan Thomas Arnold, seorang orientalis yang menjadi guru besar dalam bidang filsafat pada universitas tersebut.[2]
Ketika belajar di kota India, Beliau menawarkan beberapa konsep pemikiran seperti, perlunya pengembangan ijtihad dan dinamisme Islam. Pemikiran ini muncul sebagai bentuk ketidak sepakatnya terhadap perkembangan dunia Islam hampir enam abad terakhir. Posisi umat Islam mengalami kemunduran. Pada perkembangan Islam pada abad enam terakhir, umat islam bearada dalam lingkungan kejumudan yang disebabkan kehancuran Baghdad sebagai simbol peradaban ilmu pengetahuan dan agama pada pertengahan abad 13.
Beliau tinggal di Eropa kurang lebih selama tiga tahun. Sekembalinya dari Munich, beliau menjadi advokat dan juga sebagai dosen. Pada bulan Oktober tahun 1933, beliau di undang ke Afganistan untuk membicarakan pembentukan Universitas Kabul. Pada tahun 1935, beliau jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada tahun itu juga dan beliau meninggal pada tanggal 20 April 1935.

c.       Sayyid Ahmad Khan
Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, beliau berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW melalui Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az Zahra. Nenek dari Sayyid Khan adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Sejak kecil, Beliau mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Beliau belajar bahasa Arab dan juga bahasa Persia. Beliau rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ketika berusia delapan belas tahun, beliau bekerja pada Serikat India Timur. Pengaruhnya beliau di Serikat India Timur khususnya di dunia Islam diakui cukup besar. Beliau penglima utama kebangkitan orang Islam di masa abad 19, beliau juga berperan dalam pengorganisasian gerakan reformis diseluruh umat Islam. Di dalamnya termasuk gerakan modernis dan khalikah di India, gerakan nasionalis dan modernis di Mesir, gerakan persatuan dan kemajuan di Turki.
Di kota Delhi inilah beliau melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam dan bergaul dengan tokoh-tokoh dan pemuda muslim, seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan, dan Nawab Aminuddin. Semasa di Delhi, beliau mulai mengarang dan karya pertamanya adalah Asar As-Sanadid, pada tahun 1855 beliau pindah ke Bijnore. Pada tahun 1857 terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi yang menyebabkan timbulnya kekerasan terhadap orang India. Ketika melihat keadaan rakyat Delhi, beliau sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir, tetapi beliau sadar bahwa beliau harus memperjuangkan umat Islam India agar menjadi maju.

d.      Harun Nasution
            Harun Nasution lahir pada hari selasa 23 september 1919 di Sumatera. Pendidikan formalnya dimulai di sekolah Belanda HIS, setelah itu ia meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi 1934. kemudian melanjutkan ke Universitas Amerika di Mesir dan melanjutkan ke Mc.Gill Kanada pada tahun 1963. Pada tahun 1969 beliau menjadi dosen di IAIN Jakarta,IKIP Jakarta dan Universitas Nasional.[3]

2.      Pemikiran-pemikiran para tokoh ilmu kalam modern
a.       Pemikiran dalam Aliran Wahabi
Paham wahabi dengan pondasi pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi penguasa dua haram yang suci (Mekkah al mukarramah dan Madinah al munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur sistem pemerintahannya sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Ia menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak ada jalan lain kecuali harus memilih salah satunya dari:
1)       Pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru.
2)      Arus peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui negara-negara islam yang lain sebagai negara Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern

b.      Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal
Islam dalam pandangan beliau menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam bersifat statis. Islam, katanya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan dalam kehidupan sosial manusia.[4]
Tujuan diturunnya Al-Qur’an, menurut beliau adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga mampu menerjemahkan dan menjabarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global dalam realita kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika manusia yang selalu berubah.
Menurut beliau, peralihan kekuasaan ijtihat yang mewakili madzhab tertentu kepada lembaga legislatif Islam adalah satu-satunya bentuk yang paling tepat untuk menggerakkan spirit dalam sistem hukum Islam yang selama ini hilang dari umat Islam dan menyerukan kepada kaum muslimin agar menerima pemikiran tersebut.
Sebagaimana pandangan mayoritas ulama, beliau membagi kualifikasi ijtihat kedalam tiga tingkatan, yaitu :
1)      Otoritas penuh dalam menentukan perundang-undangan yang secara praktis hanya terbatas pada pendiri madzhab-madzhab.
2)       Otoritas relatif yang hanya dilakukan dalam batas-batas tertentu dari satu madzhab.
3)       Otoritas khusus yang berhubungan dengan penetapan hukum dalam kasus-kasus tertentu dengan tidak terikat pada ketentuan-ketentuan pendiri madzhab.

c.       Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan
Beliau mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir, setelah Abduh berpisah dengan Jamaluddin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam yang taat dan pecaya akan kebenaran wahyu, beliau berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.
Keyakinan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan beliau percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa beliau mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya, beliau telah dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantaranya:
1)       Daya berfikir berupa akal.
2)      Daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.
Karena kuatnya kepercayaan terhadap hukum alam dan mempertahankan konsep hukum alam, beliau dianggap kafir oleh sebagian umat Islam. Bahkan ketika datang ke India pada tahun 1869, Jamaluddin Al-Afghani menerima keluhan itu. Sebagai tanggapan atas tuduhan tersebut, Jamaluddin mengarang sebuah buku yang berjudul Ar-Radd Ad-Dahriyah (Jawaban Bagi Kaum Materialis).[5]
Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang faham aklid. Beliau berpendapat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat atau nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak pernah berubah, Menurut beliau, Islam agama yang paling sesuai dengan hukum alam karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan Al-Qur’an adalah firman-Nya maka sudah tentu keduanya seiring sejalan dan tidak ada pertentangan.
Namun beliau juga menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam. Beliau hanya mau mengambil Al-Qur’an sebagai pedoman bagi Islam, sedangkan yang lain hanya bersifat membantu. Alasan penolakan beliau terhadap hadits adalah karena hadits berisi moralitas sosial dari masyarakat Islam pada abad pertama atau kedua sewaktu hadits tersebut dikumpulkan. Sedangkan hukum Fiqh, menurut beliau adalah berisi moralitas masyarakat berikutnya sampai saat timbulnya mazhab-mazhab.

d.      Pemikiran kalam Harun Nasution
Salah satu pemikiran dari Harun Nasution seperti:[6]
1.       Peranan akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena dengan akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya.
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri.
2.      Pembaruan teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu:


a.       Qath’iy al dalalah
Qath’iy dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi.
b.      Zhanniy al-dalalah
Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan.
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri.
3.      Hubungan akal dan wahyu  
Salah satu  pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu.[7] Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan.
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam apalagi di bidang ilmu fiqih akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada wahyu. Sedangkan wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari wahyu dengan lain dari wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:

1)      Ajaran islam yang bersifat dasar
Ajaran dasar ialah ajaran yang bersifat universal dan tetap itu biasanya dikenal dengan ajaran yang pasti. Ajaran ini mencakup tiga bentuk ajaran, yakni:
a)      Ajaran qat’iy al wurud
Ajaran qat’iy wurud yaitu ajaran yang pasti sumber kedatangannya, baik dari Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun dari Nabi berupa hadis mutawatir.
b)      Qat’i al- dalalah
      Yaitu ajaran yang pasti maknanya karena suatu teks (nash) hanya memiliki satu arti, baik dari ayat Al-Qur’an maupun dari hadis mutawatir, ajaran dalam bentuk ini sangatlah sedikit dan biasanya mengenai kata yang menunjuk kepada bilangan.
c)      Qat’i al-tanfiz
Yaitu ajaran yang mesti diberlakukan dan bila tidak dilaksanakan, maka seseorang tergolong melakukan pelanggaran.

2)      Ajaran islam yang bersifat absolut
Ajaran absolut adalah ajaran yang nisbi, relatif, tidak tetap, boleh berubah, dan tidak mengikat. Ajaran ini biasanya dikenal sebagai kelompok ajaran yang zanni.
Ajaran ini meliputi tiga bentuk ajaran, yaitu:
a)      Zanni al- wurud
Zanni al-wurud adalah semua ajaran selain ayat Al-Qur’an dan hadis mutawatir disebut ajaran yang tidak dipastikan kedatangannya, karena ajaran ini terjadi karena hanya dikemukakan oleh orang perorangan atau pendapat pribadi.


b)      Zanni al-dalala
Yakni ajaran yang tidak pasti maknanya karena makna yang dikandung suatu teks (nash) lebih dari pada satu arti, baik dari Al-Qur’an maupun hadits mutawatir.
c)      Zanni al-tanfiz
Yakni ajaran yang tidak pesti diberlakukan, misalnya soal waris, sekalipun ayat yang memuat tentang waris termasuk pasti maknanya (qat’i al-dalalah) tetapi pemberlakuannya tidaklah pasti. Artinya, seseorang tidak dianggap berdosa bila tidak membagi warisnya satu banding satu tetapi ia boleh saja melakukan perdamaian dengan membagi satu banding satu dengan saudara wanitanya


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Razak dan Rosihan Anwar. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Abdullah, Taufik. 1987. Sejarah dan masyarakat. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Harun Nasuion. 1989. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. Jakarta: Pustaka.



[1] Taufik Abdullah. Sejarah dan masyarakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987). Hlm 182.
[2] Taufik Abdullah. Sejarah dan masyarakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987). Hlm 193.
[3] Taufik Abdullah. Sejarah dan masyarakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987). Hlm 235.
[4] Taufik Abdullah. Sejarah dan masyarakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987). Hlm 184.
[5] Harun Nasuion. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. (Jakarta: Pustaka. 1989). Hlm 78.

[6] Harun Nasuion. Lembaga Studi Agama dan Filsafat. (Jakarta: Pustaka. 1989). Hlm 80.

[7] Taufik Abdullah. Sejarah dan masyarakat. (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1987). Hlm 100.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang hebatnya mengaji

Tentang hebatnya mengaji Ilmu Agama laksana air hujan menembus bumi, orang alim yang mengamalkan ilmunya laksana bumi yang subur. Orang yang...