Rabu, 05 September 2012

Teori- teori pendidikan


“Teori-Teori Pendidikan


A.  Aliran Nativisme
1.    Pengertian Nativisme
Nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Nativisme adalah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap pemikiran psikologis[1].
Teori nativisme muncul dari filsafat nativisma (terlahir) yaitu suatu bentuk filsafat yang menyatakan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh faktor pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati[2]. Nativisme dipelopori oleh Arthur Schopenhauer, seorang filosof Jerman yang lahir antara tahun 1788-1860. Arthur berpendapat bahwa manusia dilahirkan telah membawa bakat tersendiri yang cepat lambat bakat tersebut akan terwujud suatu saat nanti.
Inti ajarannya adalah bahwa perkembangan seseorang merupakan produk dari faktor pembawaan yang berupa bakat. Aliran ini dikenal juga dengan aliran pesimistik karena pandangannya yang menyatakan, bahwa orang yang “berbakat tidak baik” akan tetap tidak baik, sehingga tidak perlu dididik untuk menjadi baik, Begitu pula sebaliknya. Namun demikian aliran ini berpendapat bahwa pendidikan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan seseorang, sehingga bila pendidikan yang diberikan tidak sesuai dengan pembawaan seseorang maka tidak akan ada gunanya.
2.    Faktor-Faktor perkembangan manusia dalam teori Nativisme
a.    Faktor genetic, yaitu faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu seorang yang pandai, maka anaknya memiliki pembawaan sebagai seorang yang pandai pula.
b.   Faktor Kemampuan Anak, adalah faktor yang menjadikan seorang anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
c.    Faktor pertumbuhan Anak, adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
3.    Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
Didalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat[3]. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan :
a.    Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Seorang anak bisa mengoptimalkan bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya
b.    Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin berkembang, dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain. Sehingga diharapkan setiap manusia bisa lebih kreatif dan inovatif dalam pengembangan bakat dan minat menjadi manusia yang berkompeten yang bisa bersaing dalam menghadapi tantangan zaman.
c.    Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Hidup adalah pilihan, dalam hal ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, sehingga akan memunculkan sebuah komitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut karena meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalah yang terbaik untuk dirinya.
d.   Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
e.    Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki. Semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan bakatnya sehingga bisa lebih optimal.
Tokoh lain aliran nativisme adalah J.J. Rousseau yaitu seorang ahli filsafat dan pendidikan dari Perancis. Tokoh ini berpendapat betapa pentingnya inti privasi atau jati diri manusia[4]. Meskipun dalam keadaan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat memengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
Para penganut aliran nativisme berpandangan bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Dalam hal ini sangat jelas bahwa faktor lingkungan tidak ada artinya, sebab lingkungan tidak akan berdaya dalam mempengaruhi perkembangan anak. Jika anak memiliki pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya apabila mempunyai pembawaan baik, maka dia menjadi orang yang baik. Pembawaan buruk dan pembawaan baik ini tidak dapat dirubah dari kekuatan luar yaitu lingkungan, hal inilah yang dipertegas oloeh J.J. Rousseau[5].
B.  Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empiri yang artinya pengalaman[6]. Aliran ini  bertentangan dengan paham aliran nativisme. Artinya  tidak mengakui adanya pembawaan atau potensinya di bawah lahir manusia. Dengan kata lain bahwa anak manusia itu lahir dalam keadaan suci dalam pengertian anak bersih tidak membawa apa-apa. Karena itu, aliran ini berpandangan bahwa hasil belajar peserta didik besar pengaruhnya pada faktor lingkungan. Faktor lingkungan menentukan dalam perkembangan pribadi seseorang, terutama pendidikan.
Tokoh perintis aliran empirisme adalah seorang filosof Inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori “Tabula Rasa”[7], yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa seorang anak lahir di dunia bagaikan kertas putih yang bersih.  Manusia dilahirkan sesungguhnya dalam keadaan kosong bagaikan “tabula rasa” yaitu sebuah meja berlapis lilin yang tidak dapat ditulis apapun di atasnya. Sehingga pendidikan memiliki peran yang sangat penting bahkan dapat menentukan keberadaan anak. Pendidikan dikatakan “Maha Kuasa” artinya Pendidikan memiliki kekuasaan dalam menentukan nasib anak. John Locke menganjurkan agar pendidikan disekolah dilaksanakan berdasarkan atas kemampuan rasio dan bukan perasaan.
Aliran ini meyakini bahwa dengan memberikan pengalaman melalui didikan tertentu kepada anak, maka akan terwujudlah apa yang diinginkan. Sementara itu pembawaan yang berupa kemampuan dasar yang dibawa seseorang sejak lahir diabaikan sama sekali. Penganut aliran ini masih berkeyakinan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk yang dapat dimanipulasi karena keberadaannya yang pasif. John Locke dalam teori “tabularasa” mengemukakan;[8]
1.        Pada waktu manusia dilahirkan, keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apapun (tabula rasa).
2.        Pengetahuan baru muncul ketika indra manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan.
3.        Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi.
Pengalaman yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Dengan demikian, dipahami bahwa aliran empirisme ini, seorang pendidik memegang peranan penting terhadap keberhasilan belajar peserta didiknya.Pengalaman belajar yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.
Aliran ini bertolak dari Lockean tradition yang lebih mengutamakan perkembangan manusia dari sisi empirikyang secara eksternal dapat diamati dan mengabaikan pembawaan sebagai sisi internal manusia[9]. Pokok pikiran yang dikemukakan oleh aliran ini menyatakan bahwa pwngalaman adalah sumber pengetahuan, sedangkan pembawaan yang berupa bakat tidak diakuinya.
Menurut Redja Mudyahardjo bahwa aliran nativisme ini berpandangan behavioral (manusia hidup sehat)[10], karena menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajadiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-mata. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberhasilan belajar peserta didik menurut aliran empirisme ini, adalah lingkungan sekitarnya. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan dari pihak pendidik dalam mengajar mereka. Dan  dalam teori ini menyatakan bahwa pengalaman merupakan guru yang terbaik.
C.       Aliran Konvergensi
Konvergensi berasal dari kata konvergen[11], artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu itu baik dasar (bakat, keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan untuk perkembangannya, maka kemungkinan itu lalu menjadi kenyataan.
Konvergensi dipelopori oleh William Louis Stern yang hidup diantara tahun 1871-1939, seorang ahli pendidikan bangsa Jerman. William berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia  disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk dan bakat tersebut mampu berkembang dengan adanya faktor lingkungan.
Aliran ini berpendapat bahwa kepribadian seseorang dibentuk dan dikembangkan oleh faktor dasar (bakat) dan faktor ajar (pendidikan)[12]. Bakat yang dibawa anak sejak kelahirannya tidak berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Jadi seorang anak yang memiliki otak yang cerdas, namun tidak didukung oleh pendidik yang mengarahkannya, maka kecerdasakan anak tersebut tidak berkembang. Ini berarti bahwa dalam proses belajar peserta didik tetap memerlukan bantuan seorang pendidik untuk mendapatkan keberhasilan dalam pembelajaran.
Dalam teori ini, perkembangan individu ditentukan oleh dua faktor, yaitu;
1.        Faktor Endogen
Faktor Endogen adalah faktor/sifat yang dibawa individu sejak dalam kandungan hingga saat dilahirkan. Faktor ini disebut juga faktor bawaan atau keturunan[13]. Antara lain;
a.       Faktor kejasmanian, seperti warna kulit, jenis rambut, golongan darah, dan lainya.
b.       Faktor pembawaan psikologis (temperamen), yaitu sifat-sifat pembawaan yang erat kaitanya dengan kejasmanian seseorang yang berhubungan dengan fungsi fsikolog. Seperti darah, kelenjar-kelenjar, cairan-cairan yang berada dalam diri manusia.
c.       Faktor bakat, yaitu potensi-potensi yang memungkinkan individu berkembang kesuatu arah.
2.      Faktor Eksogen
Faktor eksogen adalah faktor yang datang dari luar individu., seperti pengalaman, alam sekitar, pendidikan, dan sebagainya. Lingkungan dalam peranan individu terbagi menjadi lingkungan fisik, dan lingkungan sosial[14]. Lingkungan fisik seperti alam, keadaan tanah, dan musim. Sedangkan lingkungan sosial adalah lingkungan tempat individu beraksi. Seperti lingkungan primer (lingkungan yang anggotanya saling kenal), dan lingkungan skunder (lingkungan yang hubungan antara anggotanya bersifat longgar/terbuka).

DAFTAR PUSTAKA
Guru, Tuan. 2012.  Teori Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi. Di aksese pada; http://www.tuanguru.net/2012/01/teori-nativisme-empirisme-konvergensi.html (17/03/2012).
Suryabrata, Sumadi. 1984. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Rake Press
Tirharahardja, Umar dan La Sula. 1996. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Kusumaningtyas, Hapsari. 2010. Pengantar Ilmu Pendidikan: Aliran-aliran Konvensional. Diakses pada; http://www.slideshare.net/hktyas/pengantar-ilmu-pendidikan-aliran-konvensional (20/03/2012).
Matematika. 2010. Aliran-aliran dalam pendidikan. Diakses pada; http://10h06b1989t.wordpress.com/2010/01/02/aliran-aliran-dalam-pendidikan/ (20/03/2012).
Nadhirin. 2010. Kumpulan Artikel: Teori Nativisme. Di akses pada; http://nadhirin.blogspot.com/2010/03/teori-nativisme.html (19/03/2012).
Pidarta, Made. 2007. Landasan Pendidikan. Jakarta: IKIP Jakarta.

Triyono, Joko. 2012. Perspektif Pendidikan Islam: Manusia dan Ilmu Pengetahuan. Pati: STAI Pati




[1] Sumadi Subrata,  Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Rake Press, 1984)h 53.
[3] Ibid. h 55.
[4] Umar Tirtahardja dan La Sula,  Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996) h 164.
[5] Umar Tirtahardja dan La Sula,Op. Cit. 165.
[6] Tuan Guru, Teori Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi. (http://www.tuanguru.net/2012/01/ teori-nativisme-empirisme-konvergensi.html) pada 17/03/2012
[7]Joko Triyono,  Perspektif Pendidikan Islam: Manusia dan Ilmu Pengetahuan, (Pati: STAI Pati, 2012), h 4.
[8]Joko Triono. Op. Cit. h5.
[9] Umar Tirtahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998) h 194.
[10] Ibid. 167
[12] Made Pidarta, Landasan Pendidikan, (Jakarta: IKIP Jakarta, 2007) h 43.
[13] Umar Tirtahardja dan La Sula,Op. Cit. 169.
[14] Umar Tirtahardja dan La Sula,Op. Cit. 170.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang hebatnya mengaji

Tentang hebatnya mengaji Ilmu Agama laksana air hujan menembus bumi, orang alim yang mengamalkan ilmunya laksana bumi yang subur. Orang yang...